Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menegaskan bahwa dirinya memiliki hak yang absolut untuk berbagi informasi dengan Rusia.
Sang presiden menjelaskan, ia berhak untuk bertukar informasi apa pun dengan Moskow, salah satunya tentang isu terorisme.
Advertisement
Pernyataan Presiden Trump itu merupakan bentuk respons pribadinya atas dugaan peristiwa pembocoran informasi di Oval Office, ruang kerja kepresidenan di Gedung Putih saat sang presiden menjamu Menteri Luar Negeri Rusia dan Duta Besar Rusia untuk AS, Rabu, 10 Mei 2017.
"Sebagai presiden, saya dapat dan ingin berbagi informasi dengan Rusia (dalam sebuah pertemuan terbuka rutin di Gedung Putih). Dan saya memiliki hak mutlak untuk melakukannya, seperti informasi tentang isu terorisme dan keamanan penerbangan, juga isu kemanusiaan," kata Trump dalam akun Twitter-nya, seperti yang dikutip dari CNN, Selasa, (16/5/2017).
Trump menambahkan, ia juga ingin Rusia meningkatkan tindakan mereka dalam melawan ISIS dan terorisme.
Pada pertemuan 10 Mei 2017 itu, Presiden Trump diduga membocorkan sejumlah informasi rahasia kepada Menteri Luar Negeri dan Duta Besar Rusia.
Kabar itu dilaporkan pertama kali oleh The Washington Post pada Senin, 15 April 2017 lalu.
Sementara itu, kantor berita CNN menilai bahwa sang Presiden tidak sadar bahwa informasi yang ia bocorkan kepada Rusia masuk dalam kategori rahasia negara.
Namun, pakar politik mengonfirmasi kepada CNN bahwa informasi yang dibeberkan sang presiden ke-45 AS itu kepada perwakilan Moskow masuk dalam kategori rahasia negara.
Memang, pada saat dugaan pembocoran informasi itu terjadi, sang presiden tidak menyebut lembaga intelijen AS yang menjadi sumber utama info. Akan tetapi, sejumlah analis intelijen menilai bahwa Rusia memiliki kapabilitas untuk mengetahui dengan mudah sumber informasi tersebut dengan menggunakan keterangan yang dibeberkan oleh Presiden Trump.
"Saat itu, (Trump) tidak menyebut soal sumber lembaga intelijen dan metode yang digunakan untuk memperoleh informasi tersebut. Bahkan ia tidak menyebut operasi militer apa yang hingga saat ini publik masih belum ketahui. Aku di ruangan itu, dan (pembocoran informasi) itu tidak terjadi," sangkal penasehat keamanan nasional Gedung Putih, HR McMaster.
Menurut para pengamat, tindakan Presiden Trump mampu memberikan efek domino yang memicu terkuaknya sejumlah informasi rahasia Negeri Paman Sam yang bersifat sensitif, mengancam keamanan domestik, dan keamanan negara koalisi AS.
Bahkan, nyawa para agen rahasia Negeri Paman Sam yang menyamar dan sedang berada di lapangan dapat terancam akibat tindakan sang presiden ke-45 AS itu.
"Tak pernah aku menyaksikan seorang pejabat penting sebuah negara dengan ceroboh membocorkan informasi yang mengancam praktik intelijen," kata seorang mantan atase intelijen AS kepada CNN.
Meski begitu, sejumlah pengamat lain lebih mengkhawatirkan citra AS di mata Rusia ketimbang ancaman kebocoran praktik intelijen Negeri Paman Sam.
"Aku justru lebih khawatir pada persepsi Trump yang merasa bahwa dirinya wajib memberikan 'sesuatu' kepada Rusia saat sebuah pertemuan antara kedua negara. Dan itu terjadi di tengah situasi di mana Rusia dengan jelas melanggar sejumlah sanksi internasional, seperti di Suriah dan Ukraina," ujar Mark Hertling, analis isu keamanan, intelijen, dan terorisme seperti yang dikutip oleh CNN.
Pertemuan antara Presiden Trump, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, dan Duta Besar Rusia untuk AS Sergey Kivlyak pada Rabu, 10 Mei 2017 telah memicu radar waspada bagi sejumlah kalangan di Negeri Paman Sam.
Karena, pertemuan itu terjadi sehari setelah sang presiden AS memecat Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) James Comey.
Pemecatan Comey terjadi di tengah proses investigasi dugaan keterlibatan Rusia yang mengintervensi Pilpres AS 2016 lalu. Diduga kuat bahwa Rusia memiliki peran dalam kemenangan Donald Trump pada pilpres AS tahun lalu.
Pertemuan 10 Mei 2017 itu juga merupakan permintaan pribadi Presiden Rusia Vladimir Putin kepada Presiden Trump saat dirinya bertemu dengan pemilik Trump Organization itu pada April 2017.
Kecurigaan kian bertambah ketika Gedung Putih menyatakan bahwa pertemuan Donald Trump, Lavrov, dan Kivlyak itu bersifat tertutup tanpa diliput oleh media manapun, termasuk kantor berita asal AS.