Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku akan menggunakan pasal korporasi untuk menjerat para perusahaan yang diduga terlibat dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Advertisement
"Kami mendapat informasi bahwa tim penyidik sedang mempertimbangkan secara serius untuk menerapkan ketentuan-ketentuan pidana korporasi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (16/5/2017).
Penjeratan untuk korporasi menjadi salah satu cara efektif untuk mengembalikan aset negara yang dirugikan triliunan rupiah. Termasuk untuk mengembalikan aset-aset dari skandal BLBI yang berada di luar negeri.
"Sebagai salah satu cara untuk memaksimalkan asset recovery. Jadi pemetaan aset obligor yang ada di Indonesia akan dilakukan oleh penyidik," kata Febri.
Sejauh ini KPK baru mengungkap skandal korupsi yang dilakukan oleh Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. BDNI diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI oleh Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Syafruddin yang merupakan mantan Kepala Badan Kepala Penyehatan Perbankan (BPPN) menerbitkan SKL BLBI untuk BDNI meski BDNI masih memiliki tunggakan sebesar Rp 3,7 triliun. Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan Syafruddin sebagai tersangka.
Sjamsul Nursalim sendiri masih belum jelas statusnya meski dirinya merupakan pemilik BDNI. Sjamsul masih berada di luar negeri dan diminta KPK untuk segera kembali ke Tanah Air untuk memudahkan penyidikan.
Sementara untuk penetapan status terhadap Sjamsul Nursalim, pihak KPK belum mau memutuskan sejauh itu. Febri mengaku KPK masih konsen untuk mengembalikan kerugian negara dalam penanganan kasus ini.
"Kita sudah menyampaikan sebelumnya dari aspek penganganan saja, dari BLBI asset recovery merupakan salah satu concern KPK. Karena imbas kerugian negara dalam kasus BLBI ini cukup signifikan," ucapnya.
"Kita sedang pertimbangkan itu secara serius dan melakukan pemetaan aset, baik yang ada di Indonesia maupun yang di luar negeri," sambungnya.