Liputan6.com, Bandung - Pengamat menilai insiden WannaCry adalah sebuah peringatan karena gerak cepat pemerintah tak kunjung dilakukan setelah ada kejadian peretasan situs web operator seluler akhir April lalu. Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, mengatakan, pihaknya sudah mengingatkan tentang urgensi business continuity planning setelah peretasan itu.
Faktanya, kata dia, tak ada perubahan kebijakan dan atau gerak antisipatif dari pihak terkait, sehingga penyerangan melalui Wannacry menghentak awal pekan ini.
"Sekali lagi saya tegaskan, saat ini sudah amat sangat mendesak bagi kita untuk mendirikan Badan Siber Nasional yang dipimpin langsung Presiden karena lintas kementerian atau sekurang-kurangnya Menkopolhukam," katanya di Bandung, Selasa (16/5/2017).
Baca Juga
Advertisement
Badan ini sejalan dengan peta jalan Indonesia Total Cyber Defense, yang mana sistem ketahanan siber diterjemahkan dalam kejelasan hukum dan regulasi terkait. Hal ini mencakup kejelasan dari sisi orang, proses, dan teknolog yang diatur badan tersebut.
Rekomendasi kedua, kata dia, adalah implementasi spirit Revolusi Mental di sektor keamanan teknologi informasi. Yakni pembangunan infrastruktur yang intens di era Presiden Jokowi juga harus sejalan dengan pengembangan teknologi secara nilai dan urgensi, sehingga menciptakan kenyamanan bagi semua pihak.
"Revolusi mental adalah sikap bahwa tidak ada lagi yang kalang kabut saat ada serangan karena sudah ada perencanaan back up data dan back up system yang baik sesuai standar global. Sekarang kalang kabut karena spirit supremasi hukum yakni PP PSTE 82 2012 maupun POJK MRTI dilaksanakan tidak konsisten. Dalam kondisi terjelek yakni sebuah sistem utama jatuh, atau database utama tak bisa diakses, itu selalu ada alternatif. Bagi saya, itulah revolusi mental," sambungnya.
Menurut dia, potensi kehilangan nilai bisnis dan ekonomi pasti ada dengan kejadian ini. Setidaknya, ada pelayanan terhambat dan atau kredibilitas perusahaan menurun tajam di mata klien atau stakeholder terkait.
Sharing Vision belum bisa memerkirakan kerugian secara khusus dari kejadian macetnya sistem kemarin akibat WannaCry karena tak memiliki akses khusus ke database korban seperti sejumlah rumah sakit atau instansi pemerintahan.
"Akan tetapi, secara umum, mengacu riset kami, kerugian ekonomi akibat kejahatan siber di Indonesia tahun ini diprediksi bisa mencapai US$ 20 miliar dolar atau Rp 266,4 triliun per tahun (kurs Rp 13.321 per US$ 1)," sambungnya.
Secara gobal, nilai kerugian ekonomi akibat kejahatan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tersebut diprediksi menyentuh angka US$ 445 miliar per tahun. Dari sisi bisnis, kerugian finansial secara global akibat pencurian hak intelektual mencapai US$ 160 miliar.
"Di Indonesia, prediksi Sharing Vision, kerugian belum semasif negara maju. Diperkirakan nilainya baru 5 hingga 10 persen dari kerugian tahunan di negara maju, seperti AS, Jerman, Jepang, juga Tiongkok," kata Dimitri.
Di negara maju seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan Jerman, kerugian akibat kejahatan di dunia maya mencapai US$ 200 miliar per tahun. Sementara kerugian akibat kehilangan data pribadi karena dicuri sekitar US$ 150 miliar .
(Msu/Why)