Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan kerangka ekonomi makro 2018 ke DPR. Kerangka makro ini sebagai dasar pokok kebijakan fiskal Indonesia pada 2018.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,4 sampai 6,1 persen. Pertumbuhan ekonomi akan disasarkan pada pertumbuhan yang berkualitas dan inklusif.
"Sasaran pertumbuhan yang lebih tinggi ini diarahkan untuk mendorong pemerataan pertumbuhan di kawasan timur Indonesia, kawasan perbatasan dan juga daerah-daerah lain yang masih tertinggal," kata dia dalam Rapat Paripurna DPR RI, Jakarta, Jumat (19/5/2017).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Sri, ketimpangan horisontal masih terjadi di Indonesia, di mana perekonomian masih terpusat di Jawa yang mencakup 60 persen produk domestik bruto (PDB). Beberapa daerah juga masih mengandalkan sumber daya alam sebagai sektor unggulan yang rentan terhadap siklus harga komoditas. "Kesenjangan antara kota dan desa harus terus diatasi," imbuh dia.
Sri mengatakan, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, maka pertumbuhan konsumsi rumah tangga perlu dijaga. Sebab itu, pemerintah menjaga inflasi pada angka 3,5 persen plus minus 1 persen.
"Tingkat inflasi yang rendah tidak saja mendorong perekonomian domestik untuk menjadi lebih efisien dan berdaya saing, tetapi juga akan menjamin kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan pada akhirnya akan memperbaiki tingkat kesejahteraannya," jelas dia.
Guna menjaga kestabilan ekonomi, maka nilai tukar juga perlu dijaga. Pemerintah menjaga nilai tukar pada posisi Rp 13.500 sampai Rp 13.800 per dolar Amerika Serikat (AS). "Rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2018 diperkirakan berada dalam rentang Rp 13.500-Rp 13.800 per dolar AS," tandas dia.