Liputan6.com, Jakarta - Seorang pakar di bidang geopolitik menyebut bahwa kemunculan Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat merupakan salah satu faktor yang membuat munculnya Rusia dan China jadi kekuatan baru dalam kancah politik internasional.
Pernyataan itu disampaikan oleh Doktor Alan Dupont dari Cognoscenti Group, sebuah firma analis berbasis di Australia. Ia menyampaikan pernyataan itu dalam Jakarta Geopolitical Forum yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) pada Jumat, 19 Mei 2017 di Hotel Borobudur Jakarta.
Advertisement
"Mengendurnya kendali negara Barat yang dipimpin AS dalam politik global disebabkan oleh menguatnya paham nasionalisme di dalam negeri mereka. Munculnya Donald Trump yang secara mengejutkan menjadi presiden AS, memicu lahirnya kendali dari negara baru, yakni Rusia dan China," ujar Alan Dupont, CEO Cognoscenti Group, saat menyampaikan seminar dalam Jakarta Geopolitical Forum, Jumat (19/5/2017).
Sejak menjabat sebagai presiden, Donald Trump berusaha membuat AS menarik diri dari kancah politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan mundurnya Negeri Paman Sam dari Trans Pacific Partnership (TPP).
Tak lama kemudian, China muncul dengan kebijakan Belt and Road yang dinilai menunjukkan ambisi untuk menjadikan Tiongkok kiblat politik dan ekonomi baru di kawasan Asia Pasifik.
"Di sisi lain, Rusia sedang intens mengembangkan kekuatan militernya menjadi sebuah kekuatan baru. Hal ini dibuktikan dengan sikap mereka terhadap Krimea, Ukraina. China muncul dengan kebijakan baru di bidang ekonomi serta perdagangan. Dan lihat, Amerika Serikat hanya memantau saja," tambah Dupont.
Kombinasi sejumlah aspek yang telah ia sebutkan di atas, ditambah dengan kemunculan tensi geopolitik, kemunduran ekonomi di sejumlah negara berkembang, serta melonggarnya kekuatan hukum dan institusi internasional, menciptakan kondisi global yang carut-marut.
"Seluruh aspek itu menciptakan apa yang saya sebut sebagai The New World Disorder," tegas pria itu.
Saat ini relasi Rusia dan China tengah memasuki hubungan yang cukup solid. Pernyataan itu disampaikan oleh Profesor Oleg N. Barabanov dari Moscow State Institute of International Relations Rusia saat menyampaikan seminar dalam Jakarta Geopolitical Forum 2017.
Relasi Rusia dan China yang solid itu dibuktikan dengan sejumlah bentuk kerja sama yang terjalin antara pemerintah Negeri Beruang Merah dan Negeri Tirai Bambu.
"Mitra utama Rusia adalah China, mengingat kami berbagi perbatasan sepanjang 4.000 kilometer. Dan kami menjalani kemitraan yang strategis dan komprehensif, juga mendukung Belt and Road," terang Barabanov.
"Sejak 2008, Rusia dan China juga telah menandatangani kerjasama pembangunan untuk kawasan Asia-Pasifik. Di bidang keamanan, kami telah menguatkan relasi militer, pelatihan bersama, dan pertukaran persenjataan. Tak hanya itu, Rusia dan China juga intens bekerjasama di bidang ketahanan pangan," ungkap sang profesor.
Profesor asal itu Rusia juga menilai bahwa Negeri Beruang Merah juga tengah intens menguatkan relasi dengan sejumlah negara seperti India, Pakistan, Brasil, Afrika Selatan, serta beberapa negara eks Uni Soviet.
"Rusia memproyeksikan membentuk hubungan multilateral dengan sejumlah negara di Asia, yang saya sebut sebagai The Great Eurasia. Nantinya itu akan berperan sebagai kemitraan komprehensif untuk menghubungkan kerjasama, integrasi, dan pertukaran informasi demi hubungan mutual," imbuhnya.