Liputan6.com, Fukuoka - Sebuah pulau di Jepang memberlakukan aturan ketat. Salah satunya melarang kaum Hawa menginjakkan kaki di sana. Aturan tersebut dianggap kontroversial bagi sebagian orang.
Okinoshima, nama pulau tersebut, menerapkan tradisi keagamaan Shinto. Aturan yang melarang perempuan datang sudah berlaku sejak zaman kuno.
Advertisement
Bahkan, laki-laki pun harus berhati-hati saat berkunjung. Pakaian mereka harus dilucuti dan menjalani ritual pemurnian sebelum tiba di sana.
Mereka yang berkesempatan berkunjung juga tak diperkenankan mengambil apa pun sebagai "suvenir" ketika meninggalkan pulau, sekali pun itu rumput. Rincian perjalanan mereka pun tak boleh dipublikasikan, demikian dilaporkan BBC.
Melansir dari News.com.au, Jumat (19/5/2017), seluruh penjuru Pulau Okinoshima dianggap sebagai tanah suci. Populasinya terdiri dari para pendeta Shinto yang memelihara kuil, yang merupakan bagian dari Munakata Grand Shrine.
Merekalah yang menegakkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke Okinoshima. Namun, tak diketahui pasti apa alasan larangan tersebut ada.
"Ada berbagai penjelasan untuk larangan tersebut, tetapi beberapa mengatakan, alasannya menstruasi bisa mengotori situs tersebut," tulis pemuda bernama Ryo Hashimoto di Japan Times.
"Shinto memperlakukan darah menstruasi sebagai najis," ia menjelaskan.
Alasan lain mungkin karena perjalanan lewat laut ke pulau itu dianggap berbahaya, sehingga perempuan dilarang bepergian ke sana. Salah satunya demi melindungi diri mereka sendiri sebagai pembawa keturunan.
Okinoshima terletak di sepanjang rute perdagangan penting antara Jepang dan Semenanjung Korea antara abad ke-5 dan ke-9. Para pelaut kerap mencari perlindungan dari para dewa dan akan berhenti di pulau itu untuk berdoa dan memberikan persembahan, termasuk manik-manik, cermin dan pedang.
Menarik Perhatian UNESCO
Selama berabad-abad, Okinoshima mengumpulkan sekitar 80.000 pernak-pernik yang berharga yang dianggap harta nasional.
Itulah yang mungkin menjadi alasan mengapa Okinoshima menarik perhatian UNESCO. Malahan badan dunia itu akan mempertimbangkan pemberian status World Heritage pada pulau itu pada bulan Juli 2017 mendatang.
Jika demikian, maka Okinoshima akan menarik perhatian dunia dan membuat wisatawan penasaran. Alhasil, larangan kunjungan kaum wanita pun akan menjadi masalah.
Saat ini, pulau itu hampir tidak pernah dikunjungi. Kaum pria diperbolehkan datang sekali setahun pada 27 Mei untuk hadir dalam festival yang diadakan untuk menghormati roh-roh prajurit Jepang dan Rusia yang meninggal dalam pertempuran di Laut Jepang pada 1905.
Ada keberatan dengan aturan hanya laki-laki yang boleh di Okinoshima, termasuk oleh kelompok Hindu yang tahun lalu menolak UNESCO memberikan status World Heritage, kecuali pulau itu memungkinkan perempuan untuk datang ke sana.
Sementara lainnya menyebut aturan larangan terhadap kunjungan perempuan akan tetap ada, meski status dari UNESCO diberikan.
"Sikap kami akan tetap, tidak berubah, bahkan jika pulau itu terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia," ujar seorang pejabat Munakata Taisha kepada media Jepang Mainichi.
"Kami akan terus mengatur kunjungan ke pulau dengan ketat."
Takayuki Ashizu selaku kepala pendeta Munakata Grand Shrine juga setuju dengan pernyataan Taisha.
"Kami tidak akan membuat Okinoshima terbuka untuk umum, bahkan jika itu masuk dalam daftar warisan budaya UNESCO. Karena orang tidak harus mengunjunginya hanya untuk menuntaskan rasa ingin tahunya," tutur Ashizu kepada Japan Times.
Kini, salah satu solusi yang dipertimbangkan oleh pemerintah prefektur Fukuoka di mana Okinoshima berada, adalah menyiapkan sebuah fasilitas di mana wisatawan dapat belajar tentang pulau itu tanpa benar-benar mengunjunginya.