Ada Menantu Donald Trump di Balik Jual Beli Senjata AS-Saudi?

Kushner memanfaatkan statusnya sebagai menantu sekaligus penasihat senior Trump untuk nego harga senjata yang akan dijual ke Saudi.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 19 Mei 2017, 20:00 WIB
Ivanka Trump dan sang suami Jared Kushner (AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Cerita ini yang disampaikan seorang sumber pejabat Gedung Putih kepada The New York Times: pada sore tanggal 1 Mei 2016, menantu sekaligus penasihat senior Donald Trump, Jared Kushner, bertemu dengan delegasi tingkat tinggi Arab Saudi di Gedung Putih.

Kepada utusan Saudi tersebut Jared mengatakan, "Ayo kita selesaikan hari ini."

Pernyataan Kushner tersebut mengacu pada kesepakatan jual beli senjata senilai US$ 110 miliar lebih yang diharapkan dapat diumumkan ke publik dalam kunjungan Trump ke Saudi.

Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak membahas daftar belanja yang mencakup pesawat, kapal, dan bom presisi. Pada kesempatan yang sama, seorang pejabat AS menawarkan kepada Saudi sistem radar canggih yang dirancang untuk menembak jatuh rudal balistik.

Merasa bahwa biaya sistem radar canggih tersebut terlalu mahal, sejumlah pejabat AS mengatakan, Kushner mengangkat telepon dan menghubungi Marillyn A. Hewson, kepala eksekutif Lockheed Martin -- perusahaan pembuat sistem radar tersebut.

Kushner menanyakan apakah dimungkinkan pemotongan harga dan Hewson menjawab ia akan mengupayakannya.

Kesepakatan tersebut diharapkan akan terjalin lebih dari 10 tahun, sebagai simbol komitmen baru Washington untuk keamanan di Teluk Persia.

Secara terpisah, salah seorang pejabat di era pemerintahan Barack Obama menjelaskan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah kontinuitas. Namun ia tidak memungkiri bahwa terjadi perubahan.

"Kedua belah pihak memiliki pendorong untuk menggembar-gemborkan ini sebagai era baru dalam kerja sama Teluk. Saya melihat ini sebagai kontinuitas," ujar Derek H. Chollet yang menjabat sebagai asisten sekretaris pertahanan untuk urusan keamanan internasional di bawah pemerintahan Obama seperti dilansir The New York Times, Jumat (19/5/2017).

Yang telah berubah menurut Chollet adalah Kerajaan Saudi kini berhubungan langsung dengan keluarga Trump. "Cukup normal bagi mereka untuk duduk bersama menantu presiden dan membuat kesepakatan. Ini bahkan lebih normal bagi mereka dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya."

Pihak Gedung Putih dan Lockheed menolak untuk mengomentari pembicaraan via telepon antara Kushner dan Hewson atau terkait kesepakatan tersebut.

Sejumlah pihak menilai, intervensi personal Kushner tidak menimbulkan masalah hukum. Lockheed merupakan satu-satunya produsen sistem anti-rudal atau yang dikenal pula dengan sebutan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD). Sebelumnya, Trump juga sempat mengeluh kepada Hewson soal mahalnya harga jet tempur F-35 yang dijual ke Pentagon hingga akhirnya Lockheed setuju untuk memotong harga.

Menurut pejabat Gedung Putih, Kushner mulai membangun hubungan dengan anggota keluarga kerajaan Saudi sejak masa transisi. Ia turut bergabung dengan Trump, saat presiden AS itu bertemu dengan Pangeran Mohammed bin Salman, Wakil Putra Mahkota, di Gedung Putih pada Maret lalu.

Kushner dikabarkan juga menawarkan pandangan strategis tentang hubungan AS-Arab Saudi dalam rapat beberapa waktu lalu.

Namun bagaimanapun sebagian pihak menekankan bahwa apa yang dilakukan Kushner terkait kesepakatan tersebut merupakan bagian dari kerja Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Dewan Keamanan Nasional.

Isu jual beli senjata hanya satu dari sejumlah agenda yang akan diusung Trump dalam kunjungannya ke Timur Tengah. Tidak hanya bertemu Raja Salman, Trump juga akan bertemu dengan sejumlah pemimpin negara muslim lainnya.

Dalam kesempatan tersebut ia dikabarkan akan berpidato untuk menyatukan dunia muslim melawan momok ekstremisme. Pidato yang ditulis oleh Stephen Miller, penasihat kebijakan senior Trump digadang-gadang akan menjadi jawaban atas pandangan presiden AS tersebut terhadap Islam dan terorisme.

Kesepakatan jual beli senjata antara AS-Saudi telah berlangsung sejak era pemerintahan Obama. Namun mengalami penundaan menyusul kekhawatiran senjata-senjata tersebut akan digunakan dalam perang di Yaman.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya