Liputan6.com, Jakarta - Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara yang aktif terlibat dalam politik internasional. Bagi Indonesia, keterlibatannya dalam kancah perpolitikan dunia berlandaskan pada haluan 'politik bebas dan aktif'.
Dengan berlandaskan pada haluan 'politik bebas dan aktif', Tanah Air berkomitmen untuk berperan dalam isu politik dunia. Namun, di saat yang bersamaan, mencoba untuk menghindari konflik dengan negara lain dan tidak memposisikan diri dalam blok-blok negara besar tertentu.
Advertisement
Haluan politik internasional yang bebas-aktif itu ternyata menuai hasil krusial bagi Indonesia. Terbukti, sejak kemerdekaannya pada taun 1945 hingga sekarang, Negeri Zamrud Khatulistiwa diakui menjadi salah satu negara yang relevan dan berperan cukup besar dalam percaturan politik dan ekonomi internasional.
Berikut, 3 peran krusial Indonesia dalam kancah perpolitikan global, yang dirangkum oleh Liputan6.com (19/5/2017) dari berbagai sumber:
1. Pendiri ASEAN
Peran Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN merupakan tonggak gemilang partisipasi Tanah Air dalam politik internasional. Pada 1967, Indonesia merupakan negara pendiri organisasi multilateral negara se-Asia Tenggara itu bersama dengan Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Dunia bahkan mempersepsikan Tanah Air sebagai 'natural de facto leader' ASEAN, seperti yang dikutip dari International E-Journal of Advances in Social Sciences, University of Melbourne, Jumat 19 Mei 2017. Hal itu disebabkan karena sejumlah torehan penting Indonesia pada ASEAN dianggap krusial, bagi keberlangsungan politik dan ekonomi di Asia Tenggara.
Pada 27 November 1971, Indonesia menjadi negara pendorong dalam pembentukan Asian Zone for Peace Freedom, and Neutrality (ZOPFAN). Pembentukan ZOPFAN mendorong anggota ASEAN untuk berkomitmen, dalam menjamin stabilitas dan keamanan Asia Tenggara dari campur-tangan pihak eksternal.
Sedangkan pada Februari 1976, Indonesia berperan penting dan bertindak sebagai tuan rumah dalam penandatanganan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) di Bali. Traktat itu mendorong kawasan Asia Tenggara untuk tetap solid dalam bidang politik, meski pada waktu sejumlah negara ASEAN tengah dirundung dinamika isu komunisme dan anti-komunisme.
Pada periode 1997-1998, posisi Indonesia di ASEAN mengalami kemunduran buruk yang disebabkan krisis ekonomi dan moneter. Dan, sejak era-reformasi, Tanah Air perlahan mulai memperbaiki posisinya untuk kembali menjadi negara penting dan relevan di kawasan Asia Tenggara.
Advertisement
2. Penggagas Konferensi Asia-Afrika, Promotor Gerakan Non-Blok
Pasca Perang Dunia II, kondisi politik dunia terbelah menjadi dua kubu, yakni Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Sejumlah negara pada masa itu --seperti Inggris, Prancis, China, dll-- bergabung dalam salah satu kubu Barat atau Timur.
Kubu AS dan Uni Soviet yang berbeda ideologi itu juga menjadi dalang di balik konflik kebijakan politik internasional yang berkepanjangan. Konflik kebijakan itu dikenal dengan nama Perang Dingin.
Pada tahun 1955, di tengah hangatnya Perang Dingin, AS dan Uni Soviet aktif gencar menyebarluaskan pengaruhnya ke sejumlah negara yang baru merdeka usai Perang Dunia II. Indonesia, sebagai salah satu negara yang baru meraih kemerdekaan lima tahun pasca-PD II berakhir, menolak untuk bergabung dalam kedua kubu tersebut.
Dan, sebagai sebuah simbolisasi anti-blok Barat dan Timur yang aktif menyebarluaskan pengaruhnya ke sejumlah negara yang baru merdeka, Indonesia menggagas Konferensi Asia-Afrika.
Bersama dengan 29 negara lain dari Benua Asia dan Afrika yang baru meraih kemerdekaan --seperti Aljazair, Burma, Pakistan, Sri Lanka, dan India-- Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan di Bandung pada 18 - 24 April 1955. Konferensi itu menghasilkan sepuluh poin Deklarasi Bandung.
Dan, salah satu poin Deklarasi Bandung 1955 --tepatnya pada poin ke-enam-- menyatakan bahwa negara Konferensi Asia-Afrika berkomitmen untuk abstain dari segala bentuk kerjasama kolektif untuk kepentingan negara adidaya.
Poin ke-6 Deklarasi Bandung 1955 ternyata menjadi salah satu ide awal pembentukan gerakan anti-blok Barat dan Timur. Karena, satu tahun pasca-Konferensi Asia-Afrika, Presiden Soekarno bersama dengan Josip Broz Tito dari Yugoslavia, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, dan Kwame Nkrumah dari Ghana menjadi bapak pendiri Gerakan Non-Blok yang berdiri pada 19 Juli 1956.
3. Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB
Sejak tahun 1956, Indonesia menjadi salah satu negara PBB yang aktif melakukan kegiatan pemeliharaan perdamaian dunia. Salah satu metode yang digunakan Tanah Air adalah dengan mengirim Pasukan Pemelihara Perdamaian Kontingen Garuda yang bertugas untuk memberikan bantuan humaniter di wilayah konflik bersenjata.
Cikal-bakal aktivitas pertama Kontingen Garuda dapat ditelisik pada 1956. Pada tahun itu, Indonesia telah mengirim pasukan militer menjadi bagian United Nations Emergency Force ke Mesir dan Israel.
Sejak resmi bernama Kontigen Garuda pada 1957, pasukan pemelihara perdamaian dari Indonesia telah dikirim ke sejumlah negara konflik, seperti Zaire, Vietnam, Mesir, Irak, Iran, Namibia, Kuwait, Kamboja, Somalia, Bosnia, Herzegovina, Georgia, Mozambik, Filipina, Angola, Sierra Leone, dan Kongo.
Advertisement