Hari-Hari Soeharto Setelah Lengser

Usai lengser dari kursi presiden, Soeharto mengumpulkan keluarga Cendana di Puri Retno, Anyer, Banten, pada Juli 1998.

oleh Rochmanuddin diperbarui 21 Mei 2017, 08:07 WIB
Presiden Kedua RI Seoharto.

Liputan6.com, Jakarta - "Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," ujar Soeharto saat membacakan surat pengunduran dirinya sebagai presiden.

Seperti ditulis Majalah Tempo Edisi Khusus Soeharto Februari 2008, upacara serah terima jabatan pun langsung dilakukan dan berlangsung singkat. Usai berpidato, Soeharto berdiri sejenak menunggu Ketua Mahkamah Agung mengambil sumpah BJ Habibie.

Begitu selesai, Soeharto menyalami mantan wakilnya itu, termasuk sejumlah Hakim Agung. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut Soeharto. Dia langsung balik badan menuju Ruang Jepara, tempat menunggu pimpinan MPR/DPR.

Syarwan Hamid, salah satu Wakil Ketua DPR saat itu, melukiskan Soeharto waktu itu hanya bicara satu menit. Berdiri setengah membungkuk dengan tangan menyilang di perut, mantan penguasa Orde Baru itu berpamitan.

"Saudara-saudara, saya tak menjadi presiden lagi. Tadi sudah saya umumkan kepada rakyat. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, Habibie sudah mengucapkan sumpah di depan MA. Saya harap MPR dan DPR dapat menjaga bangsa ini. Terima kasih," ucap Soeharto.

Ketua MPR/DPR Harmoko dan wakilnya Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hassan Metareum, serta Syarwan Hamid hanya mengangguk.

Soeharto keluar ruangan. Menggamit lengan Tutut, mantan presiden itu menuruni anak tangga Istana sambil menyunggingkan senyum tipis kepada pewarta foto. Sesaat kemudian, ia kembali ke Cendana dengan pengawalan ketat.

Itulah pertemuan terakhir Soeharto dengan anak buahnya. Setelah lengser sebagai Presiden Kedua RI, Soeharto lebih sering mengurung diri di Cendana, meski petinggi militer dan kerabat berusaha bertamu.

Seperti sehari setelah lengser, Soeharto menerima sejumlah orang yang meminta dia menangani konflik di internal ABRI (TNI), tapi ia menolaknya.

"Loh, kalian yang menginginkan seperti ini (lengser). Kenapa harus minta saya lagi?" ujar Soeharto.

Tak hanya Soeharto, keluarga Cendana saat itu juga menutup diri. Seperti Probosutedjo yang enggan menyampaikan pesan Nurcholish Madjid kepada Soeharto, agar mengingatkan Habibie bahwa jabatan presiden hanya sementara. Namun, Probosutedjo menggeleng.

"Enggak ah, saya tak mau berhubungan dengan orang itu," kata Probo.

Pasca-Soeharto lengser memang keluarga Cendana menutup diri. Apalagi rumah keluarga Cendana kerap dibanjiri demonstran yang menuding Soeharto korupsi. "Semua keluarga terganggu," ujar Tutut.

Karena itu pula, Soeharto mengumpulkan keluarga Cendana di Puri Retno, Anyer, Banten, pada Juli 1998 atau dua bulan pasca pria asal Yogyakarta itu lengser. Usai makan di pinggir pantai, Soeharto meminta anak-anak, menantu, dan cucunya menerima kondisi pahit tersebut dan berusaha tabah melaluinya.

Menurut Soeharto, kondisi ini adalah konsekuensi dirinya mundur dari jabatan presiden. Mundur bukan hujatan mereda, justru sebaliknya. Dia meminta anak-anaknya tak bereaksi atas kondisi itu.

"Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan ikhlas. Mudah-mudahan ini mengurangi beban saya di akhirat," ujar Soeharto.


Sakit-sakitan

Almarhum Presiden RI ke-2 Soeharto tiba untuk menghadiri pertemuan puncak Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Museum Antropologi dari Universitas British Columbia, Vancouver,Kanada (25/10/1997). (AFP PHOTO/John GIBSON)

Persis pada 8 Juni 2006, Soeharto genap berusia 85 tahun. Pada usia senjanya usai lengser dari jabatan presiden, Soeharto sering sakit-sakitan.

Selain sakit-sakitan, Soeharto harus menyaksikan kehancuran keluarga Cendana. Yang paling diingat tentu saja kasus anak bungsunya Hutomo Mandala Putra atau Tommy, yang masuk penjara akibat terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.

Hampir selama tujuh tahun usai lengser, Soeharto didera penyakit hingga keluar masuk rumah sakit. Hari-harinya yang mestinya banyak bermain dengan anak cucu, justru tak dapat ia rasakan.

Dalam buku Hari-Hari Terakhir Jejak Soeharto Setelah Lengser, selama 2004-2006, sakit sang jenderal murah senyum itu kambuh setiap akhir April dan Mei.

Tahun 2006 misalnya, Soeharto masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pada 4 Mei dan keluar 31 Mei. Begitu juga pada 2005, dia masuk rumah sakit pada 5 Mei.

Pada 29 April 2004, Soeharto mengalami pendarahan saluran pencernaan dan diumumkan membaik pada 2 Mei. Pada 2003, kesehatan Soeharto juga memburuk dan masuk RSPP pada 29 April.

Hari-hari Soeharto pun berlalu monoton, bahkan kembali seperti masa balita. Berlatih makan, duduk, berjalan, hingga berbicara. Semua diulang-ulang dan hanya dilakukan di dalam kamar.

Begitulah hari-hari Soeharto setelah pulang dari RSPP pada 31 Mei 2006. Sejak tahun ini, kondisi kesehatan Soeharto benar-benar sudah menurun drastis. Sejumlah organ pentingnya tidak berfungsi normal.

Otaknya mengalami kerusakan, baik sel otak kiri maupun kanan. Begitu juga jantung, Soeharto harus memakai alat pacu jantung agar organ vital ini tetap berfungsi. Begitu juga paru-paru dan ginjalnya, fungsinya sudah menurun.

Kondisi sakit-sakitan ini pun menjadi gunjingan. Ada yang menyebut tidak berfungsinya otak otomatis orang tersebut dianggap sudah meninggal. Sebab, dalam bidang kedokteran, tidak berfungsinya batang otak sama halnya mati suri.

Namun, ketua tim dokter kepresidenan, dr Mardjo Soebiandono, mengatakan istilah tersebut tidak berlaku bagi Soeharto. Menurut dia, definisi klinis orang meninggal adalah paru-paru, jantung, dan semua organ tubuh berhenti.

"Makanya saya juga heran, kok banyak orang yang menyebutkan meninggal dunia, itu dari mana?" protes Mardjo dalam buku yang disunting Yayan Sopyan itu.


Kekuatan Mistis

Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia

Dalam buku yang diterbitkan pada 2008 itu, kondisi Soeharto yang sakit-sakitan usai lengser memicu beragam komentar. Ada yang beranggapan hal ini karena karma dan kekuatan mistisnya.

Mardjo pun membantahnya dan tidak mempercayai anggapan itu. Bantahan juga diungkapkan pengacara Soeharto Juan Felix Tampubolon dan M Assegaf. Menurut keduanya, Soeharto rajin salat lima waktu.

Keduanya menyatakan, dibanding alasan mistis, urusan medis lebih masuk akal. Soeharto sejak muda rajin berolah raga seperti bersepeda dan mendaki gunung.

Aktivitas fisik juga biasa dilakoni Soeharto saat menjadi presiden seperti main golf. Bahkan, putra pasangan Sukirah-Kertorejo itu masih rajin tapa kungkum (berendam di dalam air berjam-jam dengan maksus membersihkan jiwa dan raga dari nafsu dunia) dan mendaki gunung.

Selain itu, setelah lengser dari posisi presiden, Soeharto masih mendapat perawatan medis intensif dari dokter. "Pak Harto mempunyai dokter pribadi yang selalu mengawasi kondisinya setiap hari," ujar Assegaf.

Selain dokter pribadi, Soeharto juga masih mendapat perhatian dari dokter kepresidenan. Hal ini membuat kesehatannya bener-benar terjaga. Bahkan, pola makan pun sangat diperhatikan, sehingga jika ada keluhan sedikit pun langsung terdeteksi.

Menurut Assegaf, dengan pengawasan ketat dari dokter, tanpa ilmu mistis pun kesehatan Soeharto sangat terjaga, sehingga bisa berumur panjang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya