Liputan6.com, Jakarta - Selain Istana Negara, dalam menjalankan pemerintahan, Presiden ke-2 RI Soeharto kerap menjadikan kediamannya di Jalan Cendana sebagai tempat mengatur dan mengambil sejumlah kebijakan penting.
Rumah di Jalan Cendana nomor 6-8 Menteng, Jakarta Pusat, itu pun menjadi tempat mondar-mandir para pejabat negara di masa Orde Baru.
Advertisement
Puluhan tahun Jalan Cendana menjadi 'kawasan terlarang' untuk masyarakat umum. Hanya kalangan tertentu yang bisa masuk ke Jalan Cendana. Itu pun harus melalui pemeriksaan berlapis dari petugas keamanan yang bersenjata lengkap.
Keangkeran Cendana memudar seiring berakhirnya era kekuasaan Orde Baru. Keputusan Presiden Soeharto untuk lengser dari kursi kekuasaan pada tahun 1998 atau tepat 19 tahun lalu, membuat pamor Rumah Cendara luntur. Jalan Cendana kini tak lagi jadi kawasan 'angker' dan 'terlarang'.
Pantauan Liputan6.com, Sabtu, 20 Mei 2017, tak banyak berubah dari rumah Mantan Presiden RI Soeharto di Jalan Cendana. Rumah besar itu tampak seperti beberapa tahun silam saat masih ditinggali keluarga Soeharto.
Pohon-pohon besar menutupi sebagian halaman depan rumah berpagar hijau itu. Selintas memang terlihat tidak ada orang yang menempati. Namun, ketika dilihat dari depan rumah, ada sejumlah orang di dalamnya.
Tak hanya itu, beberapa mobil juga terlihat di dalam halaman rumah. Menurut seorang warga sekitar, rumah Soeharto kini hanya ditempati puluhan pegawai keluarga cendana.
"Sekarang mah keluarganya Pak Harto enggak ada yang tinggal di situ," kata seorang warga yang enggan disebut namanya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 20 Mei 2017.
Memang di rumah bercat hijau itu, tidak terlihat ada aktivitas yang berarti. Hanya para pegawai yang biasa mengurusi rumah Soeharto melakukan kegiatan, mulai dari menyiram tanaman, menyapu, hingga yang berjaga di pos penjagaan dalam rumah. Beberapa dari mereka memakai baju safari.
"Kalau yang jagain rumah ada terus," ucap warga tersebut.
Menurut dia, dari dulu hingga kini tak bisa sembarang orang masuk ke kediaman rumah Soeharto. Hanya orang yang dikenal, kolega, serta keluarga besar Soeharto yang diperbolehkan masuk.
"Kalau sekarang tamu jarang ada yang datang," kata warga itu.
Dia menuturkan, meski keluarga Soeharto tidak ada yang menempati rumah itu, tetapi para pegawai tetap menjaga. Sebab, ada beberapa barang peninggalan Seoharto dan keluarga yang masih berada di dalam rumah itu.
"Banyak barang-barang. Peninggalan dari dulu waktu Pak Harto dan Bu Tien masih ada. Makanya rumahnya ada yang jagain," tambah warga itu.
Keluarga Soeharto, kata warga itu, tak hanya memiliki satu rumah saja di Jalan Cendana. Ada tiga rumah lainnya milik anak Soeharto. "Pas di depan rumah Pak Soeharto, rumahnya Mba Titiek itu," terang dia.
Namun begitu, suasana Jalan Cendana saat ini berbeda ketika Soeharto masih memimpin. Kendaraan tidak bebas berlalu lalang, pedagang keliling pun dilarang melintas. Bahkan, di ujung Jalan Cendana ada tentara yang berjaga.
"Kalau sekarang mah sudah boleh. Lewat jam berapa saja. Jalan juga sudah enggak ditutup," tutur dia.
Saksi Sejarah
Tanggal 21 Mei 1998 menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepat hari ini, 19 tahun lalu, Soeharto yang telah memimpin 32 tahun menyatakan diri lengser sebagai Presiden Indonesia.
Penguasa Orde Baru itu turun dari tampuk kekuasaan usai rentetan demo mahasiswa dan kerusuhan di sejumlah wilayah Tanah Air. Sejak itu, Indonesia memulai lembaran baru, Era Reformasi.
Selain Istana Negara, Soeharto kerap menjadikan rumahnya di Jalan Cendana 6-8 Menteng, Jakarta Pusat sebagai poros pengambil kebijakan. Rumah Cendana bahkan menjadi saksi detik-detik lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Pada Senin, 18 Mei 1998, Soeharto memanggil Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur. Di rumah Jalan Cendana, Menteng, itu, Soeharto meminta Nurcholish untuk menceritakan situasi di luar.
Seperti dikutip dalam "Api Islam Nurcholish Madjid" karya Ahmad Gaus AF, cendekiawan itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengisahkan secara rinci aksi-aksi reformasi yang diwarnai kerusuhan di Jakarta ketika Soeharto sedang di Mesir pada 11-15 Mei. Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid ikut hadir dalam pertemuan.
Hari ini, kata Cak Nur itu, elemen-elemen gerakan reformasi menduduki gedung DPR/MPR.
"Karena itu saya datang ke sini tidak dengan pertimbangan bulan atau hari, pertimbangan per jam juga tidak, malah per menit juga tidak. Saya datang ke sini dengan pertimbangan detik per detik."
Soeharto mendengarkan dengan saksama. Lalu ia bertanya, "Reformasi itu apa, sih, Cak Nur?"
Nurcholish segera menjawab, "Reformasi itu artinya Pak Harto turun."
Mendengar itu, Soeharto tertawa sambil mengangkat tangan. Ia menyatakan, "Saya dari dulu memang ingin turun. Tetapi soalnya adalah, oleh Harmoko dan teman-temannya di MPR, saya ini diapusi (ditipu), dibohongi, bahwa rakyat masih membutuhkan saya, malah didorong-dorong, dipaksa-paksa untuk naik lagi."
Soeharto kemudian mengatakan akan segera mengumumkan pengunduran diri.
"Kapan?" tanya Nurcholish.
"Besok," jawab Soeharto.
"Lho, kok cepat sekali?"
"Lho, katanya tadi hitungannya detik."
Nurcholish tertawa karena tidak menduga jawaban seperti itu.
Namun, sebelum mengumumkan pengunduran diri, Soeharto ingin bertemu tokoh-tokoh masyarakat. Saadillah lalu mendaftar beberapa nama. Semua tokoh Islam. Kemudian ia memberikannya kepada Soeharto.
"Karena Mas Saadillah ini seorang ulama, yang ada dalam benaknya hanya ulama, yang kemudian diprotes oleh orang non-Muslim, kok hanya orang Islam yang diundang," tutur Nurcholish.
Ada sembilan nama yang disodorkan Saadillah kepada Soeharto untuk diundang, yakni Abdurrahman Wahid, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, Ilyas Ruchiyat, Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, Sutrisno Muchdam, dan Nurcholish sendiri.
Pertemuan dijadwalkan pada Selasa, 19 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka, Jakarta.
Keesokan harinya, dalam pertemuan sekitar 2,5 jam di Istana Merdeka, para tokoh yang diundang membeberkan situasi terakhir. Soeharto menyatakan bersedia lengser, bahkan sudah menyiapkan draf naskah pengunduran diri.
Pertemuan berlangsung cukup alot. Sebab, Soeharto punya ide sendiri, terutama soal pembentukan Dewan Reformasi. Para tokoh itu tak setuju.
Pada pertemuan tersebut, Yusril Ihza Mahendra diajak Saadillah untuk hadir. Ia dianggap perlu dimintai pertimbangan dari kacamata hukum tata negara. Yusril juga sempat mengusulkan beberapa perubahan redaksional pada naskah pengunduran diri Soeharto.
Di luar Istana, demo kian masif. Ribuan mahasiswa dan kalangan pro-reformasi lainnya kembali mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka pun menginap di sana.
Dua hari kemudian atau 21 Mei, Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Indonesia pun memasuki babak baru.
Selain kisah pertemuan Soeharto dengan Cak Nur, rumah Cendana juga jadi saksi 'perjuangan' Yusril Ihza Mahendra menulis surat lengsernya Soeharto.
Dikutip dari Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu, 21 Mei 2016, detik-detik jelang jatuhnya Soeharto, pada 20 Mei 1998, Yusril menginap di Cendana karena Bapak Pembangunan itu membutuhkan pendapatnya.
Malam itu, ketegangan menyelimuti rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto gelisah pada malam menjelang kejatuhannya.
"Ya sudah, kalau begitu saya mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya berhenti," kata Yusril menirukan ucapan Soeharto kepadanya ketika itu.
Yusril dan rekan-rekannya pun menggelar rapat malam itu untuk membuat skenario pengunduran diri Soeharto. Yusril sendiri yang menulis naskah pidato lengsernya Soeharto.
Advertisement