Liputan6.com, Jakarta Pertama kali masuk ke area Killing Field di Desa Cheong Ek sekitar 15 kilometer dari Phnom Penh, Anda tidak akan bisa membayangkan bahwa tempat tersebut adalah bekas ladang pembantaian ribuan rakyat Kamboja saat era rezim Khamr Merah berkuasa. Dilihat sekilas lokasi tersebut hanya seperti taman biasa yang ditumbuhi banyak pepohonan juga dipenuhi ilalang, dengan sebuah monumen indah dilihat dari kejauhan.
Mendekat masuk ke dalam area Killing Field, kita akan menjumpai sebuah monumen yang menyimpan ribuan tulang korban pembantaian. Kebanyakan mereka adalah dokter, guru, pengacara, dan golongan terdidik lainnya. Rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot saat itu memaksakan ideologi komunis dan ingin membentuk negara agraris-sentris.
Advertisement
Para kaum terpelajar dianggap mengancam kekuasaannya sehingga harus dihabisi termasuk keluarga mereka. Siapapun yang dicurigai berseberangan dengannya akan langsung diciduk dan digelandang ke ladang pembantaian untuk disiksa dan dibunuh secara kejam. Selama kekuasaan Pol Pot, ribuan rakyat Kamboja dibunuh dan dieksekusi dengan cara keji.
Semua pengunjung di tempat tersebut terlihat memiliki ekspresi yang sama; murung, sedih, dan muram. Pengunjung berdiri atau duduk sambil mendengarkan audio yang menjelaskan informasi tentang berbagai hal di lokasi tersebut tersebut, mulai dari alat penyiksa, bekas galian makam, tumpukan baju para korban, bahkan pohon di mana bayi-bayi dibunuh dengan cara dihantamkan ke batangnya.
Benar-benar peristiwa yang tidak bisa dinalar dengan akal dan mampu membuat bulu kuduk merinding. Sangat ganjil rasanya berjalan di sekitar lokasi tersebut, membayangkan bahwa tanah yang sedang kita pijak, dulunya pernah berlumuran darah para korban. Juga tanah bekas puluhan ribu orang meninggal dan dimakamkan secara massal.
Setelah rezim Khmer Merah berakhir, dilakukan penggalian di tempat itu dan telah ditemukan sekitar 20.000 jenazah pria, wanita, juga anak-anak dan bayi korban kekejaman tentara Khmer Merah. Di salah satu bagian Killing Field terdapat bekas galian tempat para korban dimakamkan secara massal. Tempat tersebut kini dibangun sebuah bangunan sederhana beratapkan rumbia dan dikelilingi dengan pagar bambu. Uniknya di antara pagar bambu tersebut tergantung ribuan mungkin sampai ratusan gelang berbagai macam warna, model dan bentuk.
Untuk berbagai macam alasan, para pengunjung meninggalkan gelangnya di sana. Mungkin sebagai bentuk dukacita, rasa cinta, juga doa. Sebab apalagi yang bisa kita lakukan di tempat di mana ribuan orang meninggal dan ironisnya dibunuh secara kejam di tangan saudara sebangsa sendiri.
Tim travel liputan6.com, Selasa (24/5/2017), menyaksikan seorang perempuan berambut pirang melepas gelang yang berwarna oranye dari tangan kanannya. Dengan penuh hikmat ia menggantungkannya di pagar bambu. Agama dan cara berdoa kita bisa saja berbeda, tapi ribuan gelang berwarna-warni yang tergantung di sana adalah simbol duka dan cinta. Juga sebuah harapan bahwa tragedi berdarah tersebut tidak akan pernah lagi terjadi di tanah manapun di dunia ini.