Gubernur BI: Isu Radikalisme Tak Ganggu Ekonomi RI

Bank Indonesia (BI) menegaskan ekonomi dan sistem keuangan Indonesia saat ini dalam kondisi baik.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 24 Mei 2017, 14:18 WIB
Bank Indonesia (BI) menegaskan ekonomi dan sistem keuangan Indonesia saat ini dalam kondisi baik.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menegaskan ekonomi dan sistem keuangan Indonesia saat ini dalam kondisi baik. Isu radikalisme dan demo-demo berantai yang menyedot perhatian publik akhir-akhir ini diyakini belum berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi maupun sistem keuangan nasional.

"Kami paham itu (isu radikalisme) adalah kondisi dinamika di domestik. Tapi secara umum stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, belum terpengaruh," tegas Gubernur BI, Agus Martowardojo usai Peluncuran Buku Stabilitas Sistem Keuangan di kantornya, Jakarta, Rabu (24/5/2017).

Agus meyakini bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini cukup paham untuk membedakan antara persoalan di ekonomi maupun politik. Untuk diketahui, isu radikalisme yang berkembang dalam beberapa bulan terakhir adalah soal dugaan penistaan agama yang merembet ke isu politik.

"Saya harap kalau ada aspek politik yang belum mereda, supaya cepat mereda. Selanjutnya kita bisa fokus pada pembangunan ekonomi yang lebih baik," harap Mantan Menteri Keuangan itu.

Diakui Agus, BI akan terus berkoordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam upaya mencegah dan menangani guncangan krisis. BI, sambungnya, telah menerapkan kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.

Kebijakan tersebut meliputi, kebijakan loan to value (LTV) pada kredit properti, penyesuaian Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan besaran rasio loan to funding (LFR), serta penerapan countercyclical buffer (CCB) pada permodalan bank.

"Kebijakan makroprudensial yang sudah ditempuh dipandang mampu memitigasi risiko dalam sistem keuangan," tegas Agus.

Indonesia sudah belajar dari pengalaman krisis besar yang melanda pada 1997-1998. Sehingga saat krisis keuangan global di 2008, Indonesia bisa melewati dengan berbagai upaya. Upaya itu, tambahnya, dengan merevisi Undang-undang BI pada 1999 supaya negara ini lebih siap menghadapi, bahkan mencegah krisis berikutnya.

Kemudian Kementerian Keuangan memiliki UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara agar lebih kuat dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mendirikan LPS dan membentuk UU OJK pada 2011.

"Saya melaporkan kondisi Indonesia cukup baik, termasuk sistem keuangan karena pengelolaan yang lebih baik. Walaupun kita tahu kondisi global tidak sebaik yang diduga karena masih ada risiko ekonomi dunia, tapi sekarang ini secara umum Indonesia baik," ucap Agus.

Dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan, Agus mengaku, BI akan menerapkan lima strategi. Pertama, memperkuat dan memperluas cakupan pengawasan atau surveillance makro prudensial guna mengidentifikasi lebih dini sumber tekanan yang ada.

Strategi kedua, memperkuat kerangka manajemen krisis melalui penyelarasan indikator stabilitas sistem keuangan dan hasil pengawasan BI dengan program manajemen krisis nasional. Ketiga, mengidentifikasi dan pemantauan sistemik dalam menggunakan balance sheet systemic race.

"Keempat, mendukung upaya pendalaman pasar keuangan untuk memperkuat pasar keuangan terhadap guncangan, dan terakhir, memperluas koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah, OJK, LPS, DPR untuk mendukung bauran kebijakan yang akan ditempuh BI," Agus menerangkan.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Isa Rachmatarwata menyebut, kondisi ekonomi dan sistem keuangan Indonesia saat ini dalam situasi tenang. Namun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak terlena dengan keadaan tersebut.

"Keadaan sekarang ini tenang tapi KSSK tetap melakukan koordinasi rutin setiap 3 bulan untuk pencegahan krisis atau bank sistemik. KSSK rutin memantau," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya