Heli AW 101: Batal Dibeli, Tiba di Indonesia Berujung Penjara

Potensi kerugian mencapai Rp 220 miliar. 3 orang dari TNI AU dan 7 sipil ditetapkan tersangka.

oleh Andrie HariantoFachrur Rozie diperbarui 26 Mei 2017, 19:14 WIB
Pesawat Agusta-Westland AW 101 pesanan TNI AU untuk pesawat kepresidenan. (www.agustawestland.com)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Jokowi memutuskan menolak pembelian Helikopter ‎Agusta Westland AW-101 ‎produksi perusahaan join venture Italia dan Inggris yang diajukan TNI Angkatan Udara (AU).

Jokowi menilai, helikopter Super Puma yang saat ini biasa digunakan presiden, dianggap masih layak terbang dan dapat digunakan untuk keperluan dinas kepresidenan. ‎

"Dengan mempertimbangkan dan mendengar masukan, Presiden memutuskan untuk tidak menyetujui pembelian Helikopter Agusta Westland AW-101‎," ujar Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis 3 Desember 2015.

Pramono menjelaskan, alasan pertama penolakan karena Presiden beranggapan heli yang ada saat ini, masih bisa digunakan dengan nyaman.

Selain pertimbangan tersebut, Jokowi juga menganggap pembelian helikopter tersebut terlalu mahal. Bila dipaksakan, akan menambah beban keuangan negara.

"Melihat kondisi keuangan saat ini, pembelian heli itu harganya terlalu tinggi, karena itu Presiden tetap akan gunakan helikopter yang ada," ucap Pramono.

Kendati menolak pembelian helikopter baru, namun menurut Pramono, Jokowi tetap memikirkan pembelian helikopter cadangan untuk menggantikan helikopter lama bila ada masalah teknis.

Selain itu, pembelian helikopter cadangan juga mempertimbangkan mobilitas Jokowi yang kerap berkunjung ke daerah-daerah yang sulit ditembus dengan pesawat berukuran besar.

"Karena Indonesia sebagai negara kepulauan dengan aktivitas Presiden yang sangat tinggi, penting untuk dipikirkan soal pembelian heli cadangan. Karena sekarang ini sama sekali tidak ada backup-nya," ucap mantan Sekjen PDIP itu.


Kenapa Tidak Heli PT DI?

Maiden Flight Helikopter Agusta Westland AW101 di Yeovil, Inggris (www.rotorblur.co.uk)

Heli AW-101 dianggap memiliki kemampuan yang mumpuni untuk pengamanan kelas VVIP. Selain itu, tipe tersebut diklaim juga lebih nyaman.

Kepala Dinas Penerangan TNI AU saat itu, Marsekal Pertama Dwi Badarmanto, mengungkapkan saat pihak TNI AU mengkaji rencana pembelian helikopter angkutan berat, pihaknya sudah mempertimbangkan produk PT DI. Hanya saja, menurutnya, tidak ada kelanjutannya karena pihak dari PT DI tidak merespons lebih lanjut.

TNI AU mengaku pembelian helikopter angkut berat VVIP tersebut sudah melalui berbagai pertimbangan dan kajian. Pihak TNI AU juga menjelaskan bahwa sudah bertemu pihak PT Dirgantara Indonesia (Persero).

"Kita semua sudah pertimbangkan, PT DI sudah diajak bicara tapi tidak ada respons. Sudah sejak tahun 2010 kita memikirkan untuk meningkatkan kekuatan TNI AU‎," kata Dwi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu 2 Desember 2015.

Selain itu, Dwi menilai apa yang menjadi spesifikasi helikopter angkut berat belum bisa dibuat oleh PT DI Hal ini juga yang menjadi alasan kenapa TNI AU memilih pabrikan Italia, Agusta Westland untuk mengirim produknya ke Indonesia.

"Kembali lagi bahwa produk PT DI apa sih yang tidak kita pakai, kalau kita punya spesifikasi khusus jangan salahkan kita. F-16 kenapa tidak dikejar-kejar, kami beli Sukhoi apa ada yang tanya kenapa tidak beli PT DI? Karena itu PT DI belum punyai kemampuan dengan spesifikasi yang kita inginkan‎," Dwi memaparkan.


Panglima: Heli AW 101 Ditunda, Bukan Dibatalkan

Seperti Apa Canggihnya Heli AW 101 yang Buat TNI AU 'Kesengsem' (airforce-technology.com)

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101 ditunda, bukan dibatalkan. Helikopter buatan Italia itu sedianya diperuntukkan bagi Presiden dengan kelas VVIP.

"Jadi begini, bukan dibatalkan. Jadi Presiden menyatakan untuk menunda karena ada kesannya heli itu mahal harganya dan mewah, tapi dipakainya juga cuma VVIP saja," ucap Gatot di Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat 3 Desember 2015.

Menurut mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini, penundaan dikarenakan saat ini keadaan ekonomi Indonesia masih terpuruk. Sehingga, dengan harga yang mahal, menjadi bertolak belakang dengan kondisi saat ini.

"Kondisi ekonomi sekarang, Presiden merasa kok heli mahal begitu. Itu sangat logis," ucap dia.

Sejauh ini helikopter TNI AU masih punya cadangan lain yang bisa digunakan Presiden. Misalnya helikopter Super Puma kelas VVIP yang selama ini sudah digunakan Presiden Joko Widodo saat kunjungan ke daerah.

"Untuk heli ada beberapa alternatif. Ada Super Puma. Kemarin saya paparkan kepada Presiden dengan pertimbangan kondisi ekonomi sekarang. Heli yang sekarang itu masih visible (bagus)," kata Gatot.


Ditunda Tapi Tiba di Indonesia

Pengadaan heli ini berawal pada 2015, ketika TNI AU ingin membeli heli yang peruntukannya buat heli VVIP kepresidenan Jakarta, Kamis (9/2). Jokowi menolak karena merasa pesawat kepresidenan Super Puma masih cukup laik. (Liputan6.com/ Widodo S.Jusuf/Pool)

Sempat muncul pro-dan kontra terkait pembelian helikopter Agusta Westland AW101, TNI AU kini resmi memiliki heli pabrikan Inggris tersebut. Tidak tanggung-tanggung, ada delapan unit heli angkut yang dimiliki TNI AU.

Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya tidak menampik kabar tersebut. Namun Jemi membantah pihaknya telah membeli heli tersebut diam-diam.

"Perlu kami luruskan, tidak mungkin TNI AU membeli tidak ada persetujuan pemerintah," kata Jemi saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa 27 Desember 2016.

Jemi mengakui, anggaran pembelian heli tersebut sempat mendapatkan bintang. Namun, sejalan dengan waktu, stakeholder terkait mencabut bintang tersebut.

"Komisi I DPR, Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Pertahanan kan sudah mencopot bintang itu, dan ini TNI AU tidak sendiri, ada keikutsertaan stakeholder terkait, tidak bisa berdiri sendiri," Jemi menerangkan.

Pengamatan Liputan6.com dari situs www.rotorblur.co.uk, tampak heli tersebut tengah melakukan maiden flight atau uji coba terbang di sebuah kota di Inggris, Yeovil.

Di ekor heli AW 101 berbadan besar tersebut sudah tampak gambar bendera Merah Putih.


Investigasi

(Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo kemudian berencana membentuk tim investigasi terkait pembelian heli Agusta Westland AW 101. Gatot yakin rencana pembelian heli tersebut sudah dibatalkan dan dia telah membuat surat pembatalan kontraknya.

"Saya sudah kirim tim investigasi. Kenapa itu (pembelian heli AW) terjadi," ucap Gatot di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 28 Desember 2016.

Dia menegaskan, jika hasil tim investigasi menemukan adanya kekeliruan atau kesalahan prosedur, bisa saja dikeluarkan sanksi atau hukuman. Namun Gatot tidak menjelaskan siapa yang akan dihukum.

"Tergantung tim investigasi. (Kalau ada kesalahan) akan dihukum," ujar dia.

Gatot menambahkan, pembelian heli AW 101 dipastikan tidak akan terjadi. "Sekarang tidak jadi," ujar Gatot.

Potensi Korupsi

Hilang dari pemberitaan, kasus pembelian Heli AW 101 kembali muncul. Tidak tanggung, kemunculan kabar Heli 101 tersebut membawa hasil penyelidikan bersama antara Mabes TNI, KPK, PPATK, dan Polri.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengumumkan hasil penyelidikan pengadaan Helikopter AW-101 milik TNI AU. Hasilnya, ditemukan kerugian negara dalam pengadaan alutsista tersebut.

"Dari hasil penyelidikan POM TNI, KPK, dan PPATK penggadaan Helikopter AW-101, hasil penyelidikan sementara menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 220 miliar," kata Jenderal Gatot Nurmantyo di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).

Dengan demikian, ujar Gatot, POM TNI telah meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan.

"Tersangka dari sipil tujuh orang dan militer tiga orang," kata Gatot.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya