Industri Manufaktur Bakal Berkontribusi 30 Persen ke Ekonomi RI

Kemenperin memacu industri logam, mesin, alat transportasi dan elektronika sehingga memberi kontribusi signifikan untuk sektor manufaktur.

oleh Nurmayanti diperbarui 28 Mei 2017, 16:08 WIB
Ilustrasi industri manufaktur

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memacu kinerja industri logam, mesin, alat transportasi dan elektronika (ILMATE) agar memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan sektor manufaktur dan ekonomi nasional.

Pada 2016, sektor ILMATE tumbuh hingga 3,87 persen dengan menyumbangkan sekitar 4,93 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB) nasional.

"Share industri manufaktur harus terus ditingkatkan karena selama ini menjadi penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi. Targetnya dapat mencapai 30 persen. Saat ini, baru sekitar 18 persen, masih butuh 12 persen lagi. Untuk itu, kami akan mendorong melalui tiga kelompok industri, yakni logam, kimia dan agro," kata Dirjen ILMATE Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan di Jakarta, seperti ditulis Minggu (28/5/2017).

Dua subsektor ILMATE, merupakan kontributor terbesar terhadap PDB sektor industri non-migas tahun 2016, yaitu industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik sebesar 10,71 persen, serta industri alat angkutan 10,47 persen. Sedangkan, kontribusi industri logam dasar di kisaran 3,96 persen, serta industri mesin dan perlengkapan 1 ,78 persen.

"Sekarang kami fokus mendongkrak kinerja industri logam dasar berbasis mineral, yang meliputi besi baja, aluminium, tembaga dan nikel," ujar Putu.

Apalagi logam dasar sebagai bahan baku pokok produksi di sektor industri lainnya serta menunjang pembangunan infrastruktur yang sedang gencar dijalankan pemerintah.

"Jadi, peluangnya masih sangat besar, terutama ada pelarangan ekspor minerba melalui Undang-Undang dan kebutuhan baja yang tinggi di dalam berbagai proyek," ujar dia.

Oleh karena itu, Kemenperin mendorong hilirisasi keempat logam mineral tersebut karena mempunyai efek berganda bagi perekonomian Indonesia melalui investasi dan peningkatan nilai tambah.

"Untuk menumbuhkan investasi industri smelter, kami telah menyusun rekomendasi kebijakan insentif, seperti kemudahan memperoleh fasilitas tax holiday dan tax allowance, " ujar dia.

Lebih lanjut, Putu menyatakan, pihaknya juga fokus melakukan pengembangan industri elektronika dan telematika pada penumbuhan industri komponen, telepon selular, serta perangkat lunak dan konten multimedia. "Strategi yang kami laksanakan, antara lain menerapkan aturan SNI, TKDN, dan kontrol IMEI," kata dia.

Untuk pengembangan industri permesinan dan alat mesin pertanian, Kemenperin fokus pada industri pembangkit energi, industri alat berat, industri barang modal, komponen, bahan penolong dan jasa industri, serta industri alat kesehatan. "Industri alsintan dan alat kesehatan, diusulkan mendapatkan pembiayaan ekspor melalui program penugasan khusus ekspor sebesar Rp 150 miliar untuk tahun 2017," ujar dia.

Selanjutnya, pengembangan industri kendaraan bermotor dengan fokus pada komponen otomotif, penggerak mula (engine) BBM, gas dan listrik, perangkat transmisi (power train), serta alat berat.

Pada industri kedirgantaraan meliputi pengembangan pesawat terbang propeler, komponen pesawat, dan perawatan pesawat. Industri perkapalan, yakni kapal laut, komponen kapal (mekanikal dan elektronik), serta perawatan kapal. Sedangkan untuk industri kereta api, kereta diesel dan listrik.

"Melalui berbagai rencana aksi yang dilakukan, kami menargetkan pertumbuhan sektor ILMATE bisa mencapai empat koma sekian persen pada tahun 2017," tegas Putu.

Guna mendukung sasaran tersebut, di antaranya perlu pula penciptaan iklim usaha yang kondusif, pembangunan infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam dan penyiapan tenaga kerja yang kompeten sehingga mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri.


Akselarasi Industri Baja

Akselerasi industri baja

Sementara itu, Putu menyampaikan, Kemenperin fokus mengakselerasi pengembangan industri baja di Indonesia. Alasannya adalah untuk menjadi negara industri yang maju, keberadaan industri baja mutlak diperlukan sebagai pondasi dasar bagi sektor manufaktur agar dapat tumbuh dan berkembang.

Dia menuturkan, Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya mineral logam yang melimpah, sehingga sudah seharusnya memiliki industri baja yang kuat, tangguh dan mandiri. "Industri baja merupakan industri logam yang paling utama, karenanya disebut sebagai mother of industry yang menopang kebutuhan sektor lainnya," tegas Putu.

Kemenperin mencatat, kebutuhan baja domestik saat ini mencapai 12-14 juta ton per tahun. Namun, kapasitas produksi industri baja nasional sebesar 7-9 juta ton per tahun. "Kami baru bisa memasok hingga 6-8 juta ton, dan potensinya memang masih sangat besar sehingga perlu investasi tambahan," tutur dia.

Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), hingga 2024, Indonesia ditargetkan mampu memproduksi baja sebanyak 17 juta ton per tahun, dengan fokus pada baja-baja bernilai tambah tinggi. Pada tahun 2035, diharapkan industri baja nasional sudah memiliki kapasitas produksi mencapai 25 juta ton per tahun.

Guna memenuhi sasaran tersebut, Kemenperin tengah mendorong percepatan beberapa proyek pembangunan industri baja yang tersebar di wilayah Indonesia. Pertama adalah Proyek 10 Juta ton di Cilegon, Banten. Pembangunan ini diharapkan dapat memberikan multiplier effect berupa penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 45.000 orang dan tidak langsung mencapai 375.000 orang. Selain itu, pendapatan pajak sekitar US$ 0,17 miliar dan kontribusi terhadap PDB sebesar 0,38 persen.

Proyek yang kedua adalah industri berbasis nikel dan baja tahan karat (stainless steel) di Morowali Sulawesi Tengah. Kawasan Industri Morowali memiliki lahan seluas 2.000 hektar, ditargetkan dapat menarik investasi sebesar US$ 6 miliar atau setara Rp 78 triliun, dengan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 20 ribu orang, dan tidak langsung sekitar 80 ribu orang.

"Dari kawasan tersebut, juga ditargetkan bisa menghasilkan empat juta ton baja stainless steel, dan pabrik baja karbon berkapasitas empat juta ton yang saat ini dalam tahap perencanaan," ungkap Putu.

Ketiga, proyek pengembangan industri baja di Batulicin, Kalimantan Selatan. "Saat ini, sudah ada industri baja di sana, yaitu PT Meratus Jaya Iron Steel. Namun diperlukan dukungan dari seluruh pihak agar industri baja di kawasan ini dapat tumbuh dan berkembang," ujar dia.

Dalam upaya penyiapan sumber daya manusia yang siap kerja di kawasan industri Morowali dan Batulicin, Kemenperin telah menginisiasi pembangunan Politeknik, sehingga putra-putri daerah dapat berperan lebih aktif dalam membangun industri di kawasan tersebut.

Selain itu, berbagai program yang dilakukan, antara lain fasilitasi penjajakan kerja sama investor asing dengan mitra dalam negeri, promosi investasi, pendampingan perolehan insentif bagi industri baja, perumusan regulasi yang mendukung industri baja, pembentukan Steel RnD Center, serta penerapan kebijakan penggunaan produk dalam negeri pada proyek-proyek Pemerintah maupun swasta.

Direktur Industri Logam Kemenperin Doddy Rahadi menuturkan, Indonesia berada di peringkat ke-6 Asia dalam hal produksi baja kasar (crude steel) yang mencapai 8 juta ton per tahun.

"Namun kita tidak boleh berlengah diri, karena negara ASEAN lainnya tengah berbenah untuk memajukan industri bajanya, seperti Vietnam, yang memiliki rencana untuk membuat 10 Blast Furnaces sampai dengan tahun 2030, untuk memajukan industri baja dan industri perkapalannya," papar dia.

Untuk itu, perlu adanya perbaikan-perbaikan dan harmonisasi regulasi untuk menjamin kepastian industri baja nasional dapat tumbuh dan berkembang. Dari aspek energi, tantangan yang dihadapi industri baja adalah harga listrik dan gas yang masih tergolong tinggi.

"Kenaikan harga listrik 1 sen per kWh, dapat menaikkan ongkos produksi baja mencapai US$ 8 per ton," ungkap Doddy.

Kemenperin pun telah mengusulkan untuk harga gas kebutuhan produksi baja dapat berada di kisaran US$ 3-4 per mmbtu, sehingga industri baja berbasis gas dapat beroperasi kembali. Pada awalnya harga gas bagi industri baja mencapai US$ 6,3 per mmbtu.

Dalam upaya mendukung daya saing dan tumbuhnya industri baja, dari aspek teknologi, perlu adanya revitalisasi terhadap permesinan di industri baja sehingga produksi menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan.

"Kemenperin juga memfasilitasi investor dalam memperoleh insentif seperti tax allowance dan pembebasan bea masuk untuk barang modal," jelas dia.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya