Liputan6.com, Marawi - Kekerasan yang pecah di kota Marawi, Filipina, dipicu oleh upaya penangkapan Isnilon Hapilon. Veteran ekstremis tersebut merupakan salah satu buronan yang paling dicari.
Pertanyaan pun muncul, sebenarnya siapa sosok Hapilon? Kenapa pula ia menjadi momok besar bagi pemerintah dan militer Filipina?
Dilansir dari Philstar, Senin (29/5/2017), Hapilon lahir pada 18 Maret 1966. Namun, tempat kelahirannya tidak diketahui pasti di mana.
Ia dikenal sebagai pentolan militan di Filipina. Sebelumnya, Hapilon merupakan pemimpin kelompok Abu Sayyaf.
Baca Juga
Advertisement
Namun, belakangan Hapilon menyatakan baiat atau sumpah setia ke Abu Bakar al-Baghdadi yang merupakan pemimpin kelompok teror ISIS.
Pada April 2016, surat kabar yang terafiliasi dengan ISIS, Al Naba, mengumumkan Hapilon ditunjuk sebagai Emir dari seluruh pasukan ISIS di Filipina.
Keterkaitan Hapilon dengan kelompok radikal dimulai sejak dia lulus dari fakultas teknik Universitas Filipina.
Pintar berceramah dan pandai berbahasa Arab, membuat Hapilon di usia muda ditunjuk sebagai komandan Front Nasional Pembebasan Moro (MNLF). Kelompok tersebut merupakan grup separatis yang ingin memisahkan Filipina Selatan dari pemerintah pusat di Manila.
Usai berkarier di MNLF, Hapilon langsung bergabung dengan Abu Sayyaf. Di kelompok ini, pria tersebut mulai akrab dengan kekerasan.
Ia memulai aksi penculikan, pemancungan, pengeboman, serangan bersenjata. Targetnya tidak cuma warga Filipina tapi juga orang asing.
Buronan Nomor Satu
Saat jadi komandan Abu Sayyaf, nama Hapilon tiba-tiba jadi omongan di seluruh dunia. Penyebabnya, ia dituding sebagai otak penculikan 20 orang dari resort wisata Dos Palmas, Teluk Honda, Palawan.
Di antara sandera terdapat tiga warga Amerika Serikat. Dua di antaranya bahkan bernasib nahas.
Teridentifikasi sebagai Guillermo Sobero and Martin Burnham, mereka dibunuh oleh Hapilon dan komplotannya.
Sobero bernasib paling tragis. Ia tewas di tangan Hapilon dengan cara dipenggal.
Peristiwa yang menimpa Sobero membuat AS naik pitam. Departemen Kehakiman AS meyakini Hapilon sebagai otak aksi dan harus bertanggung jawab atas tindakannya.
AS turut memasukkan namanya ke daftar teroris yang paling dicari. Pada 2002, mereka mengumumkan siapa saja yang berhasil menangkap Hapilon maka akan diberi hadiah US$5 juta atau Rp 66,5 miliar.
Advertisement
Perburuan Hapilon
Sejak dimasukkan ke dalam daftar buronan, perburuan Hapilon skala besar dilancarkan pemerintah Filipina. Pemerintah negara tersebut menunjukkan keseriusannya menangkap penjahat kelas kakap ini dengan melancarkan operasi militer.
Pada 2008, serangan besar-besar diluncurkan di kamp Abu Sayyaf di Pulau Jolo. Tentara Filipina membombardir kelompok tersebut dengan mortir dan senjata berat lainnya.
Hapilon dilaporkan menderita luka parah di tangannya. Namun, ia berhasil kabur dari serangan tersebut.
Operasi besar lanjutan diluncurkan pada 2013. Hapilon kembali dilaporkan terluka tetapi masih bisa kabur.
Pada Januari 2017, tentara Filipina menjatuhkan bom seberat 225 kilogram di tempat yang diduga jadi persembunyian Hapilon.
Kembali dilaporkan terluka parah, jejak Hapilon berhasil terdeteksi. Ia kabur ke daerah pegunungan di Butiq sebalah selatan Provinsi Lanao del Sur.
Setelah mengejar ke tempat tersebut, tentara Filipina harus gigit jari. Hapilon kembali melarikan diri.
Paling anyar di akhir Mei ini, Hapilon yang sudah jadi komandan ISIS di Filipina terindikasi berada di Kota Marawi.
Serangan besar diluncurkan lagi. Tapi kegagalan yang ditemui. Hapilon dan komplotan Maute, yang jadi pengawal setianya, melakukan aksi balas dendam.
Segera setelahnya, bendera hitam ISIS berkibar dan kelompok militan dilaporkan menculik seorang pendeta dan 14 jemaat gereja. Mereka juga membakar sejumlah bangunan.
Dari total 85 korban tewas, terdapat 51 anggota kelompok militan dan 13 tentara. Sementara itu, sebagian besar penduduk Marawi mengungsi.
"Penolakan mereka untuk menyerah membuat kota tersandera. Oleh karena itu, semakin penting untuk menggunakan lebih banyak serangan udara demi membersihkan kota dan mengakhiri pemberontakan ini," terang juru bicara militer Brigadir Jenderal Restituto Padilla.
Presiden Duterte dan pimpinan militer mengatakan, sebagian besar militan berasal dari kelompok Maute yang diperkirakan memiliki sekitar 260 pengikut. Maute telah berikrar setia kepada ISIS.
Duterte menambahkan, penjahat lokal juga turut mendukung kelompok Maute di Marawi.