Ini Kerugian Bila RI Langgar Aturan Pertukaran Data Pajak

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, Perppu tersebut telah diundangkan pada 8 Mei 2017.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Mei 2017, 14:05 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Payung hukum tersebut merupakan salah satu syarat bagi Indonesia memenuhi komitmen pelaksanaan sistem pertukaran informasi Automatic Exchange of Information (AEoI) mulai September 2018.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, Perppu tersebut telah diundangkan pada 8 Mei 2017. Aturan ini sudah dikoordinasikan dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Perppu ini diterbitkan karena keadaan memaksa, kebutuhan mendesak untuk memberi akses kepada otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Juga di dalam menciptakan level playing field dengan negara-negara yang sudah ikut AEoI," ujarnya saat Raker dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/5/2017).

Untuk menerapkan pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar negara pada September 2018, Indonesia harus memiliki legislasi atau aturan primer dalam bentuk aturan perundang-undangan dan legislasi sekunder. Ini adalah salah satu persyaratan bagi Indonesia memenuhi komitmen AEoI.

"Indonesia harus punya legislasi primer dan sekunder paling lambat 30 Juni 2017. Indonesia termasuk 50 negara atau yurisdiksi yang akan mulai implementasi AEoI September 2018, sedangkan 50 negara lain di September 2017," Sri Mulyani menegaskan.

Jika melewati ketentuan atau syarat internasional, Sri Mulyani bilang, Indonesia akan menuai konsekuensinya. Kondisi tersebut justru akan merugikan Indonesia.

"Apabila gagal mengambil langkah cepat, tepat, maka akan merugikan Indonesia. Indonesia akan dikategorikan sebagai yurisdiksi yang non kooperatif, dan akan berdampak pada penilaian dunia sehingga Indonesia tidak punya playing field yang sama dengan negara-negara yang komitmen AEoI," jelasnya.

Konsekuensi paling fatal karena melanggar komitmen AEoI, diakuinya, Indonesia bisa dianggap negara yang tidak transparan, negara suaka pajak (tax haven), negara tempat pencucian uang, dan negara tujuan pendanaan terorisme.

"Fatalnya lagi, Indonesia tidak akan kompetitif secara ekonomi karena cost of doing business lebih mahal dibanding negara-negara yang menjalankan komitmen AEoI. Yang fatal juga sesuai prinsip resiprokal yang dianut, Indonesia tentu tidak akan memperoleh akses keuangan WNI di luar negeri, baik yang sudah atau yang belum ikut tax amnesty jika kita tidak punya legislasi primer," paparnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya