BPK Ungkap Sebab Tak Menyatakan Pendapat di Laporan Keuangan KKP

BPK menyebutkan salah satu pertimbangan pemberian opini TMP pada laporan keuangan KKP yaitu berdasarkan realisasi belanja barang.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 29 Mei 2017, 14:48 WIB
Gedung BPK RI. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) mengungkapkan penyebab laporan keuangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2016, mendapat opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer.

Anggota BPK Rizal Djalil mengatakan,‎ banyak masalah yang membuat laporan keuangan KKP 2016 mendapat opini TMP. Hal itu tidak hanya menyangkut pada masalah pengadaan kapal saja.

"Masalahnya bukan hanya masalah kapal itu. Banyak juga masalah lain yang tidak terungkap," kata Rizal, di kawasan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Senin (29/5/2017).

‎Rizal menyebutkan dasar pertimbangan pemberian opini laporan keuangan KKP 2016 di antaranya adalah, ‎berdasarkan realisasi belanja barang per 31 Desember 2016 sekitar Rp 4,49 triliun.

Realisasi belanja tersebut di antaranya sekitar Rp 209,22 miliar berupa pembayaran pembangunan kapal perikanan untuk diserahkan kepada masyarakat.

Pembayaran pembangunan kapal perikanan merupakan pembayaran 100 persen atas fisik pekerjaan kapal yang belum diselesaikan 100 persen. Berdasarkan berita acara serah terima per 31 Desember 2016, diserahkan dari galangan ke koperasi, sebanyak 48 kapal dari 756 kapal yang direalisasikan 100 persen pembayarannya.

BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang kewajaran nilai tersebut. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut.

KKP melaporkan persediaan per 31 Desember 2016 sebesar Rp 854,1 miliar. Saldo persediaan tersebut, di antaranya sebesar Rp 367 miliar, berupa 12 kapal perikanan sebesar Rp 4,6 miliar, 684 unit kapal perikanan dalam proses sebesar Rp 204 miliar dan 834 unit mesin kapal perikanan sebesar Rp 99,3 miliar.

Atas persediaan kapal perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat persediaan kapal berdasarkan pembayaran 100 persen fisik pekerjaan kapal yang belum diselesaikan 100 persen.

Atas persediaan mesin kapal perikanan, sebanyak 467 unit berada di lokasi galangan, di antaranya 391 unit tanpa berita acara penitipan. BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup nilai tersebut di atas per 31 Desember 2016. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut di atas.

KKP menyajikan nilai aset tetap tanah per 31 Desember 2016 sebesar Rp 2,2 triliun. Dari nilai tersebut, terdapat aset tetap yang belum dilaporkan yang berasal dari perjanjian ruislag tanah yang belum terselesaikan.

Tanah yang akan di-ruislag tersebut seluas kurang lebih 469.870 m2 terletak di Kabupaten Sidoarjo. Namun, aset tanah yang menjadi perjanjian ruislag tersebut belum dicatat, disajikan, dan diungkapkan dalam neraca per 31 Desember 2016.

BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang aset tanah tersebut di atas, posisi per 31 Desember 2016, karena tidak tersedia data dan informasi pada satuan kerja terkait. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menemukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut di atas.

Rizal mengatakan, KKP harus membenahi tata kelola instansi-nya mulai dari perencanaan hingga pelaporan keuangan, sehingga akan meningkatkan opini laporan keuangan pada tahun depan.

"Jadi menurut saya jika usahanya maksimal, bisa saja meningkat tahun depan harapannya begitu," tutur ‎Rizal.

Sebelumnya, BPK memberi opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer pada 6 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) 2016. Salah satunya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, pemberian WTP pada KKP karena ada pertanggungjawaban yang belum selesai.

"Jadi kita harus memisahkan antara prestasi kinerja Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) dengan akuntabilitas di laporan keuangan-nya," kata dia.

Dia menyebut, hal itu salah satunya disebabkan oleh pengadaan kapal untuk nelayan. Pengadaan kapal ini seharusnya selesai sampai Desember 2016. Namun, pengadaan kapal diperpanjang sampai Maret 2017.

"Menurut aturan dia harus selesai 31 Desember 2016. Ternyata tidak selesai diperpanjang sampai dengan Maret," ujar dia.

Padahal, lanjut dia, syarat pertanggungjawaban itu adanya berita acara serah terima (BAST). Jadi, proses pertanggungjawaban ini ada yang belum selesai. "Jadi teman-teman (BPK) kurang yakin, apakah memang sudah selesai semua," ujar dia.

Selain KKP, ada beberapa K/L yang memperoleh opini TMP dari BPK yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Lembaga Penyiaran Publik TVRI, Bakamla, dan Badan Ekonomi Kreatif. Untuk diketahui opini TMP diberikan lantaran auditor tidak bisa meyakini apakah suatu laporan keuangan wajar atau tidak.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya