Liputan6.com, Indramayu - Anggota Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Indramayu, Huki Zaenah menyebutkan, sepanjang 2016, SBMI Indramayu mencatat ada 51 kasus buruh migran asal Indramayu yang terjerat masalah di luar negeri. Mereka terutama berada di kawasan Timur Tengah.
Dari jumlah itu, 80 persen di antaranya menimpa buruh migran perempuan. "Melihat data tersebut, itu artinya buruh migran perempuan asal Indramayu sangat rentan mengalami masalah," kata Huki, Senin, 29 Mei 2017.
Masalah yang dialami para buruh migran perempuan tersebut di antaranya hilang kontak, penipuan, overstay, interminit, kekerasan, dan dijual atau menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Huki menilai, kondisi itu di antaranya terjadi akibat minimnya sosialisasi tentang buruh migran maupun TPPO hingga ke tingkat desa. Selain itu, pelatihan pemberdayaan perempuan yang juga masih minim.
Baca Juga
Advertisement
Dia mengatakan, SBMI Indramayu telah mengadukan permasalahan tersebut ke Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Indramayu pada Selasa, 23 Mei 2017.
"Kami berharap agar program pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak ditingkatkan agar permasalahan yang menimpa perempuan, terutama buruh migran perempuan asal Indramayu, dapat diminimalisasi," ujar Huki.
Huki pun meminta agar sosialisasi mengenai buruh migran dan pencegahan TPPO harus diperluas sampai ke tingkat desa. Hal itu agar warga, terutama kaum perempuan yang ingin menjadi buruh migran, bisa mendapat pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang bekerja di luar negeri.
Pelatihan pemberdayaan perempuan juga harus ditingkatkan dan diperbanyak. Pelatihan itu diminta jangan hanya menunggu program dari pemerintah pusat semata, melainkan harus dianggarkan di APBD Kabupaten Indramayu.
"Harus juga dibangun rumah singgah untuk anak TKI," ujar Huki.
Ketua SBMI Indramayu, Juwarih mengatakan, selama ini Kabupaten Indramayu sering dijadikan pilot project oleh pemerintah pusat dalam hal buruh migran. Namun, dia menilai program dari pemerintah pusat itu tidak sepenuhnya berjalan.
"Ada yang setelah program selesai, maka perlahan-lahan kegiatannya pun tidak berjalan," kata Juwarih.