Liputan6.com, Jakarta Foto Presiden Jokowi sedang mengantre untuk mengambil makanan sedang jadi perbincangan hangat. Presiden kala itu bukan sedang mengantre bersama pejabat lain, melainkan dengan anak-anak. Orang-orang yang melihat foto itu tidak menyangka bahwa orang nomor satu di negeri ini dapat mencontohkan perilaku yang baik ke anak.
Baca Juga
Advertisement
Foto yang diunggah oleh akun Kata Kita di Facebook lima hari yang lalu adalah gambar lama. Itu adalah jepretan pewarta dari salah satu media daring Indonesia untuk sebuah berita yang dimuat pada Kamis, 18 Juni 2015.
"Memberikan contoh untuk mengantre dimulai dari dengan mempraktikannya di depan anak-anak. Pelajaran budi pekerti inilah yang paling berharga dari ilmu Matematika ataupun ilmu pengetahuan yang lain. Inilah Revolusi Mental," begitu bunyi dari keterangan foto di akun tersebut.
Sampai hari ini, Selasa, 30 Mei 2017, foto itu sudah dibagikan lebih dari 4 ribu akun, dengan komentar yang mencapai 213. Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang menganggap foto itu sebuah pencitraan, yang segera ditepis oleh warganet lainnya.
"Pencitraan? Bodoh amat. Setidaknya, pencitraan ini konsisten dari dulu. Saya cinta pria ini sejak dia memimpin Solo. Sehat terus, Pak. Urus saja negara dengan amanah. Haters biar kami yang hadapi," tulis akun Tri Machmood.
Kehebohan juga terjadi di ranah Twitter setelah akun Andre Opa menggunggah foto itu pada Senin, 29 Mei 2017. Menurut Andre, tidak perlu sampai berbusa-busa buat mengajarkan anak untuk antre, cukup dengan memberi contoh.
"Ngajarin ngantri ke anak-anak nggak perlu banyak omong. Cukup kerjakan," begitu bunyi kicauannya. Foto itu disukai lebih dari 600 akun dan di-retweet lebih dari seribu kali.
Lantas, apa kata psikolog anak? Seberapa besar pengaruh foto Jokowi tersebut untuk mempengaruhi seorang anak supaya melakukan hal yang sama?
Pengaruh pada Anak
Menurut psikolog anak, Yeti Widiati, orang yang punya pengaruh paling besar adalah orang yang punya otoritas terhadap anak itu, yaitu orangtua. Kemudian, semakin besar anak, dia pun akan berinteraksi dengan orang lain. Sampai di batasan umur tertentu, separuh hidup seorang anak dihabiskan di sekolah. Itu berarti, guru juga punya pengaruh terhadap perilaku dan sikap seorang anak.
"Umur anak terus bertambah. Anak akan berada di lingkungan yang lebih besar lagi. Pemimpin tertinggi yang akan dia temui, yang kemudian akan dia contoh. Kalau misalnya dari ujung atas sudah mencontohkan perilaku yang baik, efek domino itu akan mempengaruhi orang-orang di bawahnya," kata Yeti saat dihubungi Health Liputan6.com pada Selasa (30/5/2017)
Sedangkan untuk gambar yang memperlihatkan Jokowi sedang mengantre bersama anak-anak, Yeti mengatakan bahwa efek yang akan dirasakan tidak terlalu signifikan. "Contoh yang baik itu hanya dirasakan oleh anak-anak yang berada di situ. Kecuali, kalau foto ini diviralkan, akan menjadi satu hal yang positif," dia menambahkan.
Namun, masalah yang kemudian muncul adalah, tidak semua masyarakat Indonesia pro terhadap Presiden Jokowi. Ada saja orang-orang yang tidak menyukai apa pun yang Jokowi perbuat. Tentu mereka pun akan menyikapi foto itu dengan berbeda pula.
"Kita kan tidak tahu bagaimana sentimen yang akan ditularkan orangtua ke anak-anaknya," kata Yetti.
Sebab, ada tiga hal yang perlu diubah supaya kelak anak bisa berperilaku yang sama seperti Presiden Jokowi. Pertama melalui pemahaman mengapa perilaku mengantre harus dilakukan. Lalu, perlu ada latihan yang membentuk perilaku atau pembiasaan supaya anak mau mengantre. Yang terakhir adalah contoh dari orang-orang di lingkungannya.
Semakin banyak contoh yang baik, semakin konsisten pula orang dewasa melakukannya, bahkan seorang anak yang belum paham pun akan merekam semua tindakan itu di kepalanya yang nantinya akan dia ikuti.
"Kenapa orang Indonesia ke luar negeri bisa disiplin? Karena semua orang di sana melakukan hal-hal yang benar. Dia akan menjadi aneh sendiri, kalau tiba-tiba menyelip di tengah antrean," kata Yeti menekankan.
Advertisement