Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Wasit FIFA George Cumming angkat bicara soal kualitas perangkat pertandingan di Liga 1, salah satunya wasit. Cumming menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan wasit Tanah Air tertinggal dari negara-negara tetangganya.
Pria asal Skotlandia itu didatangkan PSSI sebagai bagian dari program pengembangan wasit jangka panjang yang baru akan dimulai. Program ini termasuk pendidikan bagi pengawas wasit sampai mencetak pelatih calon wasit nasional.
Baca Juga
Advertisement
"Kendala wasit di Indonesia salah satunya adalah kemampuan membaca permainan. Saat saya menonton pertandingan di Palembang, wasit harusnya sadar dia sudah masuk ke perubahan tempo atau taktik," ucap Cumming dalam sebuah diskusi bersama wartawan pada Senin (29/5/2017) petang di kantor PSSI.
Pada pertandingan Sriwijaya melawan Madura United di Palembang, pada Sabtu, 27 Mei 2017 lalu, Cumming melihat wasit Yudi Nurcahya hanya bekerja efektif selama 75 menit pertama. Selebihnya, dalam keadaan imbang tanpa gol, Yudi dianggap mulai kehilangan konsentrasi.
"Karena 0-0 intensitas pertandingan makin tinggi dan seharusnya dia bisa mengambil sikap. Entah itu kartu kuning untuk kedua tim, gestur (bahasa tubuh) yang lebih galak, atau yang lainnya," ucap Cumming.
"Kalau punya level kebugaran (fitness) yang baik pasti di menit-menit akhir pertandingan, wasit tidak kehilangan konsentrasi," katanya.
Bahasa dan IT
Selain masalah kebugaran, Cumming menegaskan kelemahan wasit Asia, termasuk Indonesia, adalah keterbatasan bahasa, baik verbal maupun bahasa tubuh. Kualitas memimpin pertandingan akan dikesampingkan jika tidak punya kemampuan berbahasa Inggris.
"Saya pernah menemui wasit di Kuala Lumpur. Dia bagus, tapi punya kendala saat berbicara dalam bahasa Inggris. Padahal dia layak masuk jadi wasit FIFA. Sayang sekali," ujar Cumming yang masih bekerja sebagai staf ahli di AFC itu.
Di luar lapangan, faktor yang mempengaruhi kualitas wasit Indonesia adalah ketiadaan sistem manajemen wasit dan pemakaian teknologi sebagai alat komunikasi seluruh perangkat pertandingan yang tersebar di seluruh daerah. Ini adalah faktor paling penting menurut pria yang bekerja menangani wasit sepak bola di Olimpiade Sydney 2000 dan Piala Dunia 2002.
"Lama perjalanan Jakarta ke Papua seperti Skotlandia ke New York! Saya paham kalau geografis jadi kendala di sini," ucap Cumming.
"Misalnya untuk evaluasi keputusan wasit di satu daerah saat menghadiahkan penalti. Karena kendala jarak dalam berdiskusi dengan wasit-wasit lainnya, kirim saja email ke semua wasit dengan hasil dari putusan PSSI dan keberatan klub."
"Jadi mereka tahu dan bisa memberikan tanggapan. Komite wasit pun beberapa hari kemudian bisa kasih tanggapan apakah putusan mereka itu sudah sesuai atau tidak," tuturnya.
Advertisement
Pengakuan PSSI
Ketertinggalan ini akhirnya diakui oleh Pelaksana tugas (Plt) Sekjen PSSI, Joko Driyono. Menurutnya pengawas wasit yang memiliki kualitas bagus menyebabkan perkembangan perwasitan Indonesia berjalan lamban.
"Jadi buat assesor juga jadi tantangan kami kalau sistem itu sudah ada," tukasnya.
"Nah ini jadi kelemahan PSSI selanjutnya untuk coaching sistem melalui remote dengan sistem IT yang harus di-set up. Itu yang belum bisa dilakukan," kata Joko.