Liputan6.com, Moskow - Rusia terus mengembangkan kekuatan tempurnya. Salah satunya pengadaan Platform Tempur Universal Armata, terutama tank tempur utama canggih T-14.
T-14 dapat menembakkan hingga 10 rentetan peluru per menit dengan jarak tembakan hingga tujuh kilometer.
Advertisement
Sebagai perbandingan, tank M1 Abrams milik AS hanya mampu menembakkan tiga rentetan peluru per tiga menit dengan jarak hingga 4,6 kilometer.
Keberadaan tank tersebut konon membuat negara-negara anggota NATO ketar-ketir.
Apalagi, dalam kendaraan lapis baja Armata T-14, Negeri Beruang Merah itu juga membangun Active Protection Systems (APS) yang membuat sistem senjata anti-tank (anti-armour weapons) yang ada saat ini tak mempan.
Termasuk, misil kendali buatan AS, Javelin, yang digunakan oleh militer Norwegia.
Peringatan soal kehebatan alutsista Rusia disampaikan Brig Ben Barry dari International Institute for Strategic Studies (IISS) di London.
Dia mengatakan, itu adalah masalah yang sebagian besar negara-negara NATO tak bisa menghadapinya.
Dikutip dari BBC, Rabu (31/5/2017,) APS terancam membuat senjata anti-tank yang ada saai ini tidak efektif.
"Dan hanya ada sedikit diskusi nyata mengenai hal ini di antara militer Barat," kata Berry.
Dia menambahkan, beberapa negara sedang melakukan penelitian dan uji coba untuk melengkapi tank mereka dengan APS.
"Tapi sepertinya mereka tidak nyaman dengan dampaknya terhadap senjata anti-tank mereka sendiri," katanya.
Norwegia adalah salah satu negara NATO yang kali pertama bisa menangkap informasi kemampuan senjata Rusia itu.
Norwegia berencana mengeluarkan rencana anggaran pertahanan baru dengan perkiraan biaya 200-350 juta krona atau sekitar US$ 24 hingga 42 juta untuk mengganti rudal Javelin yang telah mereka miliki.
Tujuannya adalah mempertahankan kapasitas untuk melawan kendaraan lapis baja berat dari negara tetangganya, dalam hal ini Rusia.
"Ada kebutuhan untuk rudal anti-tank yang bisa menembus sistem APS"," kata Ben Berry
Tank Canggih Israel
APS adalah teknologi terbaru, di tengah adu kuat teknologi menyerang dan bertahan dalam kemiliteran.
Dalam sejumlah periode berbeda, yang satu memiliki keunggulan dibanding lainnya.
Para ksatria berbaju besi pernah merajai pertempuran. Namun, pesatnya teknologi senjata api meruntuhkan dominasi tersebut.
Sejak Perang Dunia II, tank -- seperti halnya para ksatria berbaju besi -- memiliki supremasi di medan tempur. '
Tank tentu saja rentan terhadap senjata yang dilontarkan kendaraan lapis baja lainnya. Seberat apapun lapisan yang dimiliki, dengan tembakan mortar dengan kecepatan tertentu bisa menembus perisai apapun.
Tank juga rentan terhadap sistem sentaja lain -- sebab itulah APS diciptakan.
Sejak Perang Dunia II seluruh kategori senjata anti-tank ringan dirancang.
Karena harus dibawa pasukan infanteri, senjata itu tak boleh hanya bergantung pada kecepatan dan massa untuk menembus tank -- tapi pada reaksi kimia.
Hulu ledak semacam itu berdampak pada lapisan luar tank, mencairkan inti logam yang menembus lapisan itu.
Para desainer tank telah mencoba mencegah hal itu terjadi, dengan memberikan semacam lapisan tambahan untuk melindungi tank.
Sementara APS menawarkan pendekatan baru. Pada dasarnya, itu adalah sistem anti-misil yang dimiliki oleh tank -- dilengkapi radar yang bisa melacak datangnya misil anti-tank.
Kemudian, proyektil diluncurkan dari tank untuk mengganggu atau menghancurkannya.
Selain Rusia, ada negara lain yang tanknya telah memiliki sistem APS terbaru itu. Negara itu adalah Israel. Tank Merkava dengan kemampuan APS itu mampu bertahan dari serangan misil di Gaza.
Dengan demikian, menurut Ben Barry pengerahan pasukan Rusia di perbatasan dengan Eropa seharusnya membuat negara-negara NATO khawatir.
"Norwegia sudah mengambil langkah untuk membeli persenjataan canggih menyaingi tank Rusia. Namun, bagaimana dengan negara-negara lain? Harusnya mereka juga melakukan hal yang sama," tutup Barry.