Liputan6.com, Jakarta Masih ingat kekacauan bernama Batman v Superman: Dawn of Justice? Meski penonton dan kritikus kompak mencemooh film garapan Zack Snyder ini, ada satu hal menyenangkan dalam film tersebut. Yakni, kemunculan Wonder Woman yang diperankan Gal Gadot.
Setiap riff gitar khas Wonder Woman terdengar, bak muncul oase di sela-sela Batman v Superman.
Baca Juga
Advertisement
Setelah Batman v Superman, kritik atas film DC Extended Universe tak juga membaik—meski tetap laku luar biasa. Suicide Squad yang ditunggu-tunggu penggemar justru menerima cacian. Dan tampaknya, pertaruhan nama baik DC Extended Universe kembali dipikul oleh Wonder Woman, lewat film solonya yang mulai dirilis sejak Rabu (31/5/2017) di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Gal Gadot kembali mengenakan seragam Wonder Woman dalam film berdurasi 140 menit ini. Namun di setengah awal film, ia belum berstatus sebagai superhero. Ia adalah Diana, putri dari Ratu Amazon, Hippolyta (Connie Nielsen), yang hidup menyepi di pulau misterius, Themyscira.
Meski hidup di tengah para ksatria wanita ciptaan Zeus yang jago bertarung, Diana justru dilarang mempelajari bela diri oleh sang ibu. Upaya nekat bibinya, Jenderal Antiope (Robin Wright), untuk mengajarinya pun berbuah kemarahan sang ibu.
Namun sebuah peringatan dari Antiope tentang kembalinya sang Dewa Perang, Ares, membuat sikap Hippolyta melunak, dan membiarkan putrinya mempelajari seni bertarung suku Amazon.
Belasan tahun kemudian, Diana yang kini telah menjadi ksatria muda Amazon, menyaksikan satu hal yang baru pertama kali ia lihat seumur hidupnya: seorang pria. Orang tersebut adalah Steve Trevor (Chris Pine) seorang mata-mata Inggris yang pesawatnya jatuh di perairan Themyscira saat dikejar oleh Nazi.
Kedatangan Steve Trevor, membuka mata Diana tentang perang dunia memakan ribuan jiwa tak berdosa. Apalagi seorang ilmuwan Nazi gila, Maru (Elena Anaya), tengah mengembangkan senjata kimia baru yang luar biasa berbahaya. Diana yakin bahwa perang tersebut adalah ulah sang Dewa Perang, Ares.
Membangkang larangan ibunya, Diana pergi bersama Steve Trevor ke dunia manusia untuk mengalahkan Ares. Yang tak ia sadari, sang ibu tengah menyembunyikan jati diri Diana yang sebenarnya. Termasuk hubungan Diana dan Ares.
Diana, Naif Sekaligus Tangguh
Film perdana Wonder Woman ini sebenarnya memiliki beban yang cukup berat. Selain harus menjadi pondasi dari latar belakang sosok Wonder Woman—salah satu superhero wanita paling ikonis—film ini juga harus mampu menampilkan satu cerita yang berdiri sendiri.
Dan hal ini, dilakukan baik oleh sutradara Patty Jankins, dan para penulis skenario: Allan Heinberg, Zack Snyder, Allan Heinberg, dan Jason Fuchs.
Bagian awal, kita diperkenalkan oleh Diana yang idealis dan naif. Kenaifannya ini terbawa ketika ia datang pertama kalinya ke kota tempat tinggal manusia. Gegar budaya yang dialami Diana—dan interaksinya dengan manusia kota—menjadi salah satu bagian paling menarik dan kocak dalam film ini. Lihat saja keluguan Diana, mengira korset adalah sebuah baju pelindung ala orang kota saat bertarung.
Gal Gadot, memainkan bagian ini dengan pas. Cukup terlihat jenaka untuk menghadirkan sisi humor dalam film ini, namun tak terlalu berlebihan sampai terlihat konyol.
Adegan laga dalam film ini, meski tak terlalu mendominasi, juga disajikan dengan baik. Gerakan yang dilakukan Diana dan saudari Amazonnya yang lain, terlihat perkasa, cukup meyakinkan sebagai bangsa petarung.
Sementara tokoh Steve Trevor, jelas sudah bisa ditebak akan membawa bumbu-bumbu romansa dalam film ini. Tarik menarik emosi dan seksualitas antara dua tokoh ini, juga ditakar dengan cukup pas sehingga tak mengganggu alur cerita.
Meski diramu dengan baik, tetap ada beberapa hal yang terasa mengganjal dalam Wonder Woman. Misalnya saja soal Bracelets of Submission, yang luput dijelaskan. Fans Wonder Woman pasti mengerti bahwa benda ini dikenakan semua ksatria Amazon, namun penonton awam mungkin kebingungan dari mana benda sakti mandraguna ini berasal.
Begitu pula dengan para pemeran antagonis dalam Wonder Woman, yakni Maru dan Jenderal Ludendorff, yang karakternya terbilang dangkal. Bisa dibilang tak ada pendalaman karakter dari tokoh-tokoh ini. Mereka hanya diposisikan sebagai tokoh jahat penggerak cerita yang karakternya hanya bersifat satu dimensi.
Meski cukup disayangkan, untungnya hal-hal ini tak lantas merusak kenikmatan menonton Wonder Woman.
Wonder Woman, bisa dibilang sebagai penebusan dosa dari film-film superhero keluaran DC sebelum ini. Kalau Anda termasuk kaum yang merasa ‘tersakiti’ dengan film-film yang dikeluarkan saingan Marvel ini, bergembiralah.
Karena Wonder Woman, adalah film yang kemungkinan besar akan mengembalikan kepercayaan Anda terhadap proyek akbar DC Extended Universe selanjutnya: Justice League.
Advertisement