Cerita Kepala BNPT tentang Remaja Jabar Berkomunikasi dengan ISIS

Orang tua, kata Suhardi, tidak boleh lengah dan mengawasi konten-konten yang dikonsumsi anak-anaknya.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Mei 2017, 20:42 WIB
Kepala BNPT Suhardi Alius (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Teknologi informasi saat ini tidak dapat dibendung. Mau tidak mau. Selain efek positif, juga dampak negatif dari perkembangan teknologi itu sendiri. Keluarga diharapkan berperan penting dalam mengimbangi perkembangan teknologi itu.

"Perhatikan kembali keluarga sebagai satuan kecil dan sangat berperan penting," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius dalam wawancara khusus dengan Indosiar, SCTV, dan Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (31/5/2017).

Orang tua, kata Suhardi, tidak boleh lengah dan mengawasi konten-konten yang dikonsumsi anak-anaknya. "Jangan dibiarkan lepas karena tidak ada lagi sekat yang menahan mereka, filter," ujar Suhardi.

Suhardi mencontohkan fenomena perkembangan teknologi informasi dengan fenomena lone wolf dalam gerakan terorisme yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Lone wolf merupakan istilah untuk teroris yang tidak memiliki jaringan dan tidak terorganisir.

Jenderal bintang tiga ini mencontohkan lone wolf yang diamankan BNPT, yaitu seorang pemuda dari salah satu daerah di Jawa Barat.

Remaja itu diketahui kerap berkomunikasi dengan Bahrunnaim, petempur ISIS asal Indonesia yang terindikasi menggerakkan beberapa teror di Indonesia dengan sasaran aparat.

"Sekarang sudah kita amankan. Bayangkan saja sejak kelas 5 SD sampai dengan kelas 1 SMA, dia berkomunikasi secara online dengan Bahrunnaim, sampai dia bisa buat bom asap. Tinggal bom yang lain saja," kata Suhardi.

Suhardi mencontohkan kasus Ivan, bomber Gereja Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara. "Dia berbaiat sendiri, brain washing dilakukan di internet," kata mantan Kabareskrim ini.

Menurut Suhardi, remaja yang tengah berkembang dan emosional serta mencari jati diri adalah sasaran kelompok teror dalam menyusupkan paham radikal. Tidak usah bertatap muka, cukup dengan  teknologi informasi paham radikal disusupkan.

"Dulu mungkin sifatnya segmentasi, baiat offline, tatap muka. Sekarang dengan teknologi informasi, dunia dalam genggaman. Ini yang mesti diwaspadai, dengan teknologi informasi seperti itu tidak ada lagi ruang-ruang privat," jelas Suhardi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya