Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memperingati Hari lahir Pancasila untuk yang pertama kalinya. Bertepatan dengan momentum itu, Denny JA meluncurkan buku bertajuk 'Mewacanakan Kembali Demokrasi Pancasila (Yang Diperbarui)'.
Denny JA menyusun konsep buku berdasarkan preferensi publik. Tak kurang dari 18 intelektual, pemikir, akademisi, aktivis dan jurnalis, menanggapinya dalam pro dan kontra. Di antaranya: Rocky Gerung, Christianto Wibisono, Ali Munhanif, Mun'im Sirry, dan Hatta Taliwang.
Advertisement
"Kumpulan esai di buku ini selangkah lebih maju. Ketika banyak pihak menggaungkan kembali Pancasila, para penulis buku ini selangkah lebih jauh yaitu menerjemahkan Pancasila itu dalam tata kelembagaannya," kata dia dalam keterangan tertulis, Kamis malam, (1/6/2017).
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu menilai, terminologi Demokrasi Pancasila selama ini berasal dari sistem politik Orde Baru era Suharto. Namun Demokrasi Pancasila era Soeharto tidak demokratis jika diukur melalui kriteria demokrasi modern.
"Beberapa elemen Demokrasi Pancasila era Pak Harto tak lagi relevan. Misalnya, Dwi Fungsi ABRI, Presiden dipilih MPR, hadirnya utusan golongan di MPR yang tidak dipilih. Reformasi dan amandemen UUD 45 sudah memperbaruinya," imbuh dia.
Sebagian besar publik tak ingin Indonesia berubah menjadi negara Islam, atau kembali ke sistem otoriter, atau menuju demokrasi liberal yang ekstrem sekuler.
"Maka saatnya kita teguhkan kembali demokrasi pancasila (yang diperbarui) menjadi 'the only game in town'. Negara hanya akan stabil jika ada kesepakatan dan konsensus nasional yang baru untuk mengakomodasi kepentingan dan paham politik yang beragam," pungkas Denny JA.