Liputan6.com, Bantul - Pengurus Masjid Sabiilurrosya'ad di Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, melestarikan tradisi berbuka puasa saat bulan Ramadan dengan bubur lodeh. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun lampau.
Bubur lodeh terbuat dari beras dan kelapa yang disiram sayur lodeh tempe. Takmir masjid membagikan kepada jemaah menjelang berbuka puasa setiap hari selama bulan Ramadan. Pada hari biasa, hanya anak kecil yang memperoleh bubur lodeh, tapi setiap Jumat seluruh jemaah mendapatkan makanan ini.
"Makna utama dari bubur lodeh adalah bibirrin, beber, dan babar," ucap Hariyadi selaku Sekretaris Takmir Masjid Sabiilurrosya'ad, Selasa, 30 Mei 2017.
Baca Juga
Advertisement
Bibirrin berarti kebagusan, beber mengandung arti sebelum jemaah mendapatkan penjelasan dasar-dasar ajaran agama Islam sebelum makanan pembuka dibagikan. Sementara, babar memiliki makna ajaran Islam harus menyatu dengan masyarakat tanpa melihat status sosial dan latar belakang.
Tekstur bubur yang halus juga mengandung arti syiar Islam harus dilakukan dengan cara halus, bukan dengan pedang atau kekerasan.
Hariyadi menuturkan, pembawa tradisi bubur lodeh saat bulan Ramadan adalah Panembahan Bodho. Berdasarkan cerita yang dipercaya masyarakat setempat, Panembahan Bodho merupakan murid terakhir Sunan Kalijaga.
Lelaki bernama asli Adipati Trenggono menolak untuk meneruskan jabatan Adipati Terong di Sidoarjo. Dia memilih menyebarkan ajaran Islam di Desa Wijirejo. Ia mendirikan Masjid Sabiilurrosya'ad pada abad 16 Masehi.
"Bubur lodeh ini cara syiar dengan akulturasi budaya," ujar Hariyadi.
Akulturasi budaya terlihat dari bubur yang merupakan makanan khas Gujarat, India, lalu dipadukan dengan sayur lodeh yang familiar di masyarakat setempat dan khas dengan lidah Jawa.
Menilik sejarahnya, keberadaan masjid ini justru berhubungan dengan Majapahit Islam yang muncul setelah perpecahan internal kerajaan Hindu tersebut. Panembahan Bodho merupakan cicit dari Prabu Brawijaya V, yakni Raden Trenggono.
Raden Trenggono merupakan anak dari Raden Kusen atau Adipati Terung. Sementara, Raden Kusen merupakan anak hasil pernikahan dari Putra Prabu Brawijaya, Raden Aryo Damar dengan seorang putri China bernama Dorowati.
Raden Trenggono berkeinginan untuk memiliki kesaktian dan ilmu seperti Sunan Kalijaga. Pertemuannya dengan Sunan Kalijaga tidak disengaja. Ketika itu, Raden Trenggono berjalan menelusuri sungai dan tiba di Hutan Wijen. Ia melihat sosok gagah dan tampan yang ternyata adalah Sunan Kalijaga.
Namun, sosok itu menyelinap dan menghilang dari pandangan Raden Trenggono sebelum sempat ditemui dan diajak berbicara.
Raden Trenggono yang ingin menyamai ilmu Sunan Kalijaga pun berguru dengan Ki Ageng Gribig di Temanggung. Di tempat itu, tekadnya untuk memperdalam agama Islam semakin besar dan akhirnya dijadikan menantu oleh Ki Ageng Gribig. Ia kemudian bertugas menyiarkan Islam.