Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah meningkatkan metode penyaringan baru terhadap orang-orang yang akan masuk ke negara tersebut.
Terhitung sejak 25 Mei 2017, AS meminta para calon pendatang yang mengajukan visa ke sana untuk memberitahukan identitas di media sosial.
Seperti dikutip dari Daily Mail pada Sabtu (3/6/2017), seorang petinggi State Department yang dirahasiakan namanya menjelaskan bawa prosedur baru keamanan itu diterapkan pada mereka yang berpotensi melakukan kejahatan.
Baca Juga
Advertisement
Rencana tersebut telah memicu kekhawatiran di kalangan pembela kebebasan sipil, yang berpandangan bahwa mereka yang tidak berisiko menjadi teroris dapat dicurigai hanya berdasarkan pandangan politik atau agama.
Sebelumnya, melalui suatu memorandum tertanggal 6 Maret 2017, Presiden Donald Trump berjanji memperketat pengaturan atas siapa yang boleh masuk ke Amerika Serikat, termasuk dengan mempelajari perilaku calon pengunjung di dunia maya.
Menurut wanita pejabat tersebut, para pejabat konsuler sekarang boleh meminta informasi tambahan dari para pelamar visa yang diduga memerlukan "pemeriksaan keamanan nasional secara lebih ketat."
Menurutnya, "Pelamar visa tersebut akan diminta untuk menyediakan informasi tambahan, termasuk rincian media sosial, nomor-nomor paspor sebelumnya, informasi tambahan tentang anggota keluarga, riwayat lebih panjang terkait perjalanan, pekerjaan, informasi kontak."
Namun demikian, pejabat itu menambahkan bahwa perubahan tersebut akan "berdampak hanya kurang dari 1 persen dari setidaknya 13 juta pelamar visa dari seluruh dunia setiap tahunnya."
Tidak disebutkan adanya permintaan kata sandi (password) dari para pelamar visa.
Walaupun begitu, jika pelamar visa mengunggah materi mencurigakan ke Facebook atau mengikuti suatu akun ekstremis di Twitter atau Instagram, maka calon itu akan ditanyai lebih mendalam.
Selain aturan baru ini, administrasi AS belum lama ini juga menerbitkan larangan penggunaan laptop untuk penumpang penerbangan yang berangkat dari bandara beberapa negara Muslim.
Larangan itu diterbitkan setelah agen-agen intelijen menemukan bukti bahwa kalangan ekstremis telah menyempurnakan teknologi menyembunyikan bom dalam komputer jinjing.
Sejauh ini, Liputan6.com telah mencoba menghubungi pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Tapi, hingga berita ini dimuat belum ada tanggapan terkait pengetatan pengajuan visa tersebut.