Liputan6.com, Manila - Militan dari kelompok Maute menduduki Kota Marawi, Filipina pada Mei 2017. Menyandang bedil, mereka mengambil alih rumah sakit juga lapas, membakar gereja, dan membunuh warga dengan kejam. Lalu, bendera ISIS mereka kibarkan di jalanan.
Hingga saat ini, Marawi jauh dari kondusif. Kota itu ditinggalkan penduduknya yang mengungsi. Helikopter dan jet tempur terbang rendah, siap mengebom posisi para teroris.
Di sisi lain, militan Maute yang mengenakan penutup kepala berwarna hitam berjaga di sejumlah jembatan --satu-satunya jalan keluar dari Marawi yang terkepung. Mereka mengincar warga Kristen. Sebelumnya, para ekstremis telah menculik dan menyandera seorang pastor.
Di tengah situasi itu, seorang pemuka muslim mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan sesama. Dia menyembunyikan puluhan warga Kristen di lokasi penggilingan padi miliknya.
Baca Juga
Advertisement
Tak hanya memberikan perlindungan, sang pemuka juga memberikan trik untuk selamat. "Misalnya, bagaimana menanggapi pertanyaan, melafalkan doa, memakai jilbab, dan mengatakan 'assalamualaikum'," kata Uskup Marawi, Edwin de la Pena, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (3/6/2017).
Cara itu berhasil dalam beberapa kesempatan. Namun, ada juga yang gagal. "Saat ditanya apakah mereka beragama Kristen, ada yang langsung menjawab, 'ya' dan ditarik keluar barisan. Kami dengar, para korban dibunuh dan jasadnya dijatuhkan ke jurang," kata de la Pena.
Pihak pemerintah menyebut, kelompok kriminal Maute -- yang berubah jadi milisi telah merencanakan serangan pada bulan suci Ramadan. Tujuannya, membuat para pemimpin ISIS di Timur Tengah terkesan. Mereka juga diduga ingin dapat aliran dana dan militan asing.
Presiden Rodrigo Duterte telah mengumumkan status darurat militer di Mindanao, pulau paling selatan Filipina yang berpenduduk sekitar 20 juta orang.
Kepada pasukan militer yang melancarkan perlawanan balik di Marawi dengan serangan udara dan artileri, ia menjanjikan perlindungan terhadap tuduhan kejahatan, termasuk pemerkosaan.
Di tengah pertumpahan darah di selatan, pada Jumat 2 Juni 2017 seorang pria bersenjata menyerbu sebuah kasino di Manila, yang jaraknya hanya lima menit dari bandara internasional.
Pelaku menyiram meja poker dengan bensin. Akibatnya, maut, 36 tamu dan staf yang terperangkap dalam bangunan tewas tercekik oleh asap. ISIS mengaku bertanggung jawab, tetapi aparat menepisnya. Polisi Filipina menyebut, insiden itu sebagai perampokan.
Kabar pertumpahan darah dan kebrutalan di selatan mencekam Filipina, ditambah lagi dengan sikap presidennya yang condong ke arah kekerasan.
Namun, kisah-kisah tentang pengorbanan tanpa pamrih umat beragama untuk menyelamatkan sesama, menggetarkan hati rakyat Filipina.
Uskup Marawi, Edwin de la Pena mengatakan, persaudaraan yang terjalin antara umat Islam dan Kristen tentu saja bukan yang diharapkan militan.
Ekstremis pro-ISIS tak pernah menyangka, kebrutalan yang mereka lakukan di Marawi justru menjadi pemersatu dua umat beragama.
"Para militan berusaha keras memecah belah, tetapi pada akhirnya, strategi mereka menyatukan kami."
Prasangka Selama 40 Tahun Terkikis
Sebagian besar dari 200 ribu penduduk Marawi melarikan diri dari kotanya. Muslim maupun Kristen. Tak sedikit yang harus berjalan selama berjam-jam, menuruni bukit tropis yang rimbun ke Iligan City.
Iligan City, kota yang ada di tepi pantai itu berjarak 38 kilometer dari Marawi.
Kedua kota memiliki perbedaan mencolok, yang satu 95 persen penduduknya Muslim, lainnya mayoritas adalah Kristen.
Marawi dan Iligan City punya masa lalu suram. Penjajahan dan kediktatoran mengoyak kerukunan umat beragama di sana.
Penjajah Spanyol dan Amerika meminggirkan populasi Muslim dan pribumi lokal dengan mendirikan pemukiman baru dan pemaksaan keyakinan.
Tak hanya itu, pada awal 1970-an, diktator Ferdinand Marcos memicu konflik dan pertempuran antar-milisi yang berlatar keyakinan. Sejak lama, permusuhan dan saling curiga dirasakan warga dua kota.
Belakangan, ketika penduduk Muslim Marawi mengungsi ke Iligan, mereka disambut dengan hangat.
"Doa dan harapan kami curahkan pada saudara dan saudari kami yang beragama Muslim di tengah bulan suci Ramadan," tulisan itu tertera di spanduk yang digantungkan di katedral terbesar di kota.
Di bawahnya, berdiri tegak patung Bunda Maria dan lilin-lilin yang diletakkan para jemaat.
Sebuah ruangan di katedral difungsikan di sebagai gudang. Di sana disimpan makanan kaleng, beras, dan peralatan kebersihan -- yang siap dikirimkan ke sekolah-sekolah di Iligan yang diubah jadi lokasi pengungsian.
Edgar Aguillar, relawan dari Manila mengatakan, pihaknya membeli perkakas dapur baru, termasuk wajan, panci, dan pisau untuk memasak makanan yang ditujukan pada warga Muslim.
"Kami tak bisa memasak dengan peralatan yang sudah kami gunakan sebelumnya. Itu tidak halal -- pernah digunakan untuk memasak daging babi," kata dia.
Sambutan dari penduduk lokal pun sungguh luar biasa. Para pedagang memberi diskon khusus untuk pembelian ayam. Pemilik bus nyaris reyot, yang biasanya mengangkut para komuter, menyumbangkan kendaraan untuk kepentingan pengungsi, juga tenaga dan waktunya.
Beberapa hotel di Iligan, koridornya dipenuhi penduduk Marawi. Atau, ada 10 orang yang memenuhi satu kamar.
Para pemuka agama Kristen dan Islam juga saling bahu-membahu mendorong rekonsiliasi -- dari prasangka yang ditimbulkan di era Marcos, sekitar 40-an tahun lalu.
Para mufti di Marawi menegaskan, apa yang dilakukan para militan tidak Islami. Sementara, Uskup de La Pena menyatakan, fakta bahwa umat Islam mengungsi di Iligan adalah bukti bahwa warga telah melangkah ke depan, meski sejumlah prasangka masih bercokol.
Pada masa-masa konflik sebelumnya atau selama badai tropis, pengungsi Muslim akan lari ke pegunungan dan orang-orang Kristen akan bergerak ke arah pantai.
"Namun, sekarang, semuanya ada di sini. Mereka merasa lebih aman di kota ini. Itu menunjukkan ada kepercayaan yang telah dibangun," kata de la Pena.
Jamel Abdul Panaraag sedang duduk di jip tuanya bersama sang istri dan tujuh anak mereka. Pria 40 tahun itu mengatakan, mereka berjalan selama tujuh jam untuk melarikan diri dari Marawi. Dia kembali kemudian untuk mengambil mobilnya.
"Warga Kristen membantu kami," kata pekerja konstruksi itu. "Meski ada beberapa yang takut. Mereka menduga kami terkait dengan teroris."
Wakil wali kota Iligan, Jemar Vera Cruz mengakui, memang muncul kekhawatiran, ada teroris yang menyaru sebagai pengungsi. Untuk itulah, patroli keamanan ditingkatkan, jam malam pun diterapkan.
Namun, ia mengaku tersentuh dengan respons warganya. "Orang-orang berhati emas. Saya punya seorang teman yang hanya mampu menyediakan cukup makanan untuk keluarganya. Tapi, kini dia menampung 20 pengungsi, di rumahnya yang sempit, yang sejatinya hanya nyaman dihuni dua orang," kata Cruz.
Kisah tentang Muslim yang melindungi orang-orang Kristen di Marawi, juga sambutan hangat warga Iligan kepada para pengungsi, telah menyatukan kedua kota dengan cara yang tidak pernah terlihat selama empat dekade.
"Dalam beberapa hal, (konflik) ini telah menyatukan banyak orang," kata Cruz.
"Jika Anda datang ke Iligan, kami akan menyambut dan menjaga Anda sekalian," kalimat itu dia tujukan pada warga Marawi.
Saksikan juga video berikut ini:
Advertisement