Liputan6.com, Riyadh - Di Arab Saudi dan sejumlah negara di Timur Tengah, makanan cepat saji asal Amerika Serikat merupakan salah satu kuliner yang paling digemari. Restoran cepat saji pun menuai kesuksesan di Timur Tengah.
Namun, apakah selama Ramadan restoran cepat saji itu tetap laris manis di negara yang didominasi oleh pemeluk Islam tersebut?
Advertisement
Menurut The Arab News (4/6/2017), penjualan produk makanan cepat saji selama bulan Ramadan mengalami penurunan.
Penurunan itu disebabkan karena kuliner Barat tersebut tidak sesuai dengan budaya dan ritual keagamaan masyarakat Timur Tengah selama bulan Ramadan.
Di hari-hari biasa, makanan cepat saji memberikan kepuasan instan bagi konsumen saat bepergian atau tengah menempuh perjalanan. Tapi, kebiasaan itu berubah selama bula Ramadan.
Seperti yang diwartakan oleh The Arab News, orang atau keluarga yang berpuasa di Arab Saudi dan Timur Tengah justru lebih memilih makanan masakan rumah ketimbang memesan kuliner cepat saji. Bahkan, jika harus berbuka di luar rumah, warga Arab dan Timur Tengah lebih memilih menyantap makanan di restoran non-cepat saji.
Naif Al-Jabally, seorang supervisor untuk salah satu restoran cepat saji di Jeddah, Arab Saudi, mengatakan kepada The Arab News bahwa bisnisnya mengalami penurunan penjualan yang drastis selama bulan Ramadan. Karena, hampir setiap resotran di Arab Saudi berhenti beroperasi dan kembali buka saat beberapa jam sebelum Iftar (berbuka puasa).
"Ada lebih banyak pelanggan pada hari normal daripada selama bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, kita buka jam 17.30 (waktu setempat)," kata al-Jabally seperti yang dikutip oleh The Arab News, 4 Juni 2017.
Untuk mengatasi penurunan penjualan, sebagian besar restoran makanan cepat saji berusaha menarik perhatian konsumen yang berpuasa dengan menawarkan produk khsusus Ramadan untuk Iftar. Akan tetapi, promosi itu kerap tidak menuai keuntungan signifikan bagi kas restoran.
"Pelanggan justru lebih memilih makanan reguler ketimbang menu promosi Ramadan. Bahkan hal itu juga tidak terjadi secara konsisten setiap hari selama Ramadan," tambah al-Jabally.
Maha Nasir, seorang warga Arab Saudi yang berpuasa, mengatakan bahwa dirinya lebih menikmati makanan rumahan atau restoran non-cepat saji untuk Iftar.
"Kami senang sekali berbuka puasa bersama keluarga seminggu sekali. Tapi kami lebih memilih pergi ke restoran makanan yang membuat masakan khas Arab," jelas Nasir.
Bagi Nasir dan sejumlah warga Arab - Timur Tengah lain, makanan cepat saji tidak sesuai dengan kebiaasaan Iftar masyarakat. Biasanya, untuk mengawali Iftar, warga Arab Saudi dan Timur Tengah memilih menyantap makanan manis serta bersifat ringan, seperti kurma.
Sementara itu, makanan pokok yang bersifat berat disantap 3 hingga 4 jam setelah Iftar.
Alasan lain yang membuat Nasir dan warga Arab Saudi menghindari makanan cepat saji saat Iftar adalah kandungan minyaknya yang berlebihan, sehingga dianggap akan mengganggu pencernaan individu yang berpuasa.
"Anak-anak saya dan saya menghindari makanan cepat saji selama Ramadan karena perut kami akan penuh dengan lemak dan minyak. Dan itu tidak baik untuk perut orang yang berpuasa. Kami lebih memilih daging masak dan sup," tambah Nasir.
Sementara itu, Nora al-Sabea, ibu dari lima orang, mengatakan kepada Arab News bahwa makan Ramadan menekankan aktivitas bersama keluarga di dalam rumah
"Saya tidak suka berbuka puasa di luar kecuali ada pertemuan keluarga," katanya.
Namun, seperti setiap orang tua yang kalah jumlah dengan anak-anak, terkadang Sabea dan para ibu lain menyerah pada tekanan para buah hatinya.
"Saya lebih memilih makan makanan yang saya masak sendiri. Tidak mungkin akan ada makanan cepat saji kecuali jika anak-anak bersikeras," tutup Sabea.