Liputan6.com, Yogyakarta - Revisi Undang-Undang Terorisme masih terus digodok oleh tim Pansus. Wakil Ketua Pansus Revisi UU Terorisme, Hanafi Rais, mengatakan, pengesahan UU Terorisme cukup mendesak. Sementara pembahasan materi Revisi UU Terorisme di DPR masih 60 persen.
Menurut Hanafi, masih ada dua pasal yang menjadi dinamika dan masih memerlukan pembahasan lebih lanjut.
Advertisement
"Dua pasal itu adalah pasal yang disebut Guantanamo atau Pasal 43A. Sedangkan yang kedua adalah pasal keterlibatan TNI di Pasal 43 B," ujar Hanafi di kompleks Masjid Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Minggu 4 Juni 2017 malam.
Hanafi mengatakan, dalam draft itu, TNI menjadi salah satu aparat yang dilibatkan dalam pemberantasan ataupun penanggulangan terorisme sejak awal. Presiden akan menjadi pemimpin dalam pemberantasan terorisme bersama dua pemangku pemberantasan yaitu TNI dan Polri.
"Tentu ini akan kita bahas di dalam pembahasan UU itu, bagaimana memberikan proporsi yang tepat terkait peran TNI dalam pemberantasan dan penanggulangan terorisme," terang dia.
Hanafi setuju jika semua elemen TNI nantinya dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Sebab melihat anatomi terorisme saat ini, bentuk terorisme bisa berubah-ubah.
"(Terorisme) bisa sekadar mengganggu ketertiban nasional yang Polri akan menanganinya. Tapi juga di sisi lain, terorisme bisa seperti di Malawi, Filipina Selatan, yang bisa mengancam kedaulatan dan pertahanan negara, nah di situlah TNI harus masuk," kata politikus PAN ini.
Melihat bentuk-bentuk terorisme itu, Hanafi mengungkapkan, dalam draft itu akan dibuat kriteria-kriteria tertentu. Kriteria tersebut untuk menentukan di hal apa TNI bisa diterjunkan dalam pemberantasan terorisme.
Untuk mengesahkan RUU Terorisme tersebut, setidaknya DPR masih perlu sidang dua kali lagi.
"Kemungkinan masih akan dua kali sidang lagi. Targetnya ya kalau tidak September, ya Oktober, UU Terorisme sudah bisa disahkan. Akhir tahunlah maksimal," kata Hanafi Rais.
https://www.vidio.com/watch/754245-pancasila-atau-khilafah-anak-muda-indonesia-pilih-apa