Liputan6.com, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial (medsos). Dalam fatwa itu, ada sejumlah poin yang diharamkan bagi umat muslim yang bermuamalah atau melakukan interaksi melalui medsos.
Fatwa itu dibacakan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Dr. Asrorun Niam Sholeh. Acara bertajuk Diskusi Publik dan Konferensi Pers Fatwa Majelis Ulama Indonesia "Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial" ini juga dihadiri Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Baca Juga
Advertisement
Asrorun, dalam pemaparannya, menyebutkan poin pertama yang diharamkan di medsos adalah melakukan gibah (bergunjing), fitnah, namimah (mengadu domba), dan penyebaran permusuhan. Kedua, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan.
"Media sosial tidak boleh untuk kebencian, bullying atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan," ujar Asrorun dalam pemaparannya.
Poin ketiga yang dianggap haram adalah menyebarkan hoax serta informasi bohong, meskipun dengan tujuan baik seperti informasi tentang kematian orang yang masih hidup.
Keempat, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar'i. Poin kelima yang diharamkan adalah menyebarkan konten yang benar, tetapi tidak sesuai tempat dan atau waktunya.
Selain itu, Asrorun juga mengatakan bahwa memproduksi, menyebarkan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten atau informasi yang tidak benar kepada masyarakat, hukumnya haram.
Aktifitas buzzer di medsos, yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, gibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi atau nonekonomi, hukumnya juga haram. Demikian juga dengan orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.
"Media sosial memang bagus untuk lingkungan, tapi di sisi lain memunculkan disharmoni, masalah hukum, dan sebagainya. Karena itu, kami rasa penting untuk memberikan pandangan dari segi agama mengenai hal tersebut," tutur Asrorun.
(Din/Why)