Liputan6.com, Jakarta Kusumayadi (71), pria tua yang hidup sebatang kara ini sebenarnya memiliki empat anak. Namun semua anaknya pergi jauh meninggalkan Kusumayadi seorang diri di gubuk yang berdiri di atas tanah kuburan.
Hanya satu anaknya yang cukup dekat, yakni di Pangalengan, Bandung. Namun, anaknya yang selalu ditunggu itu tak kunjung menemuinya. Akhirnya tahun demi tahun dia harus melewati hidup seorang diri di tengah penyakit herpes yang pernah menyerang kakinya.
Advertisement
Kini penyakit itu berangsur sembuh, meski tanpa menjalani operasi yang seharusnya dia lakukan. Untuk menyembuhkannya, dia hanya mengandalkan biaya pengobatan yang ditanggung pemerintah.
Karena penyakit itulah, Nenden dari Rumah Yatim Cemara mengenal beliau. Di tengah kebingungan usai divonis dokter harus menjalani operasi, Kusumayadi datang ke Rumah Yatim Cemara.
Bukan untuk meminta bantuan biaya operasi, Kusumayadi justru meminta bantuan dana untuk kebutuhan sehari-harinya. Saat itu, Nenden memberikan sejumlah uang kepada. Meskipun tak begitu banyak, sang kakek menyambutnya dengan gembira.
Setelah kesembuhannya, pria yang tinggal di Jl Baladewa, Padjajaran, Cicendo, Bandung, bangkit kembali. Namun karena kerentaannya dia pun tak bisa berbuat banyak. Dia hanya menunggu orang menggunakan jasanya, baik itu untuk menjualkan barang, atau membetulkan sesuatu, yang penting semuanya bisa bernilai uang untuk memenuhi perutnya.
Sejak 2015, Kusumayadi rutin tiap bulan datang ke Rumah Yatim untuk meminta sembako. Sempat Nenden bertanya bagaimana cara dia memasak, Engkus sapaan akrabnya, pun memaparkan bahwa di gubuk kecilnya itu tak akan ditemui peralatan apa pun.
Dia hanya memiliki satu piring, satu sendok dan satu ember untuk mencuci. Terkadang makan pun dikasih oleh tetangga. Beras yang yang diberi Rumah Yatim dia akan jual kembali untuk memenuhi kebutuhannya.
Engkus tak hidup sendiri di tanah kuburan itu. Dia hidup bersama orang-orang yang senasib dengannya.
Kusumayadi adalah sosok orang tua kesepian, hidup sendiri tanpa kasih sayang dari keluarga terdekatnya. Hanya ada para tetangga yang masih baik kepadanya, karena sosok Engkus memang tak segan membantu para tetangga. Hal tersebut mengingatkan Nenden untuk menghargai orang tua selagi masih ada, menyayangi mereka, merawat mereka di masa tua, seperti mereka menyayangi kita di masa kecil.
“Sebagai anak, kita harus berbuat baik kepada orang tua, jangan biarkan orang tua kita seperti Bapak Engkus yang terpaksa harus hidup sebatang kara,” ujar Nenden.
Penulis:
Sinta Guslia
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6