Liputan6.com, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai hukum dan pedoman bermuamalah (berinteraksi) di media sosial. Sikap ini menyusul makin banyaknya penyalahgunaan media sosial yang mengarah pada kebohongan, kebencian, dan merusak persatuan.
Lalu, bagaimana posisi para buzzer penebar hoax atau kabar bohong dalam pandangan MUI?
Advertisement
"Aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, gibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," demikian bunyi Fatwa Nomor 24 Tahun 2017.
Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, gibah (bergunjing), fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
MUI juga mengharamkan setiap umat Muslim melakukan gibah, fitnah, penyebaran permusuhan, bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan (SARA).
Ketua Umum MUI KH Ma'aruf Amin menjelaskan, Fatwa Medsosiah ini merupakan pegangan dan acuan, baik itu secara hukum maupun bersifat pedoman.
"Supaya fatwa ini ada tindak lanjutnya, supaya ada pertimbangan perundangan untuk dibuat DPR dan pemerintah," jelas Ma'ruf di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 5 Juni 2017.
Menurut MUI, media sosial sudah terlalu banyak dibanjiri berita bohong. "Adu domba, pornografi, dan kami rasakan medsos ini mengarah pada kebencian dan permusuhan," ujar Ma'aruf Amin.
Fatwa Medsosiah diresmikan pada 13 Mei 2017 dan baru disahkan secara simbolis oleh MUI dan Kemenkominfo. MUI berharap, dengan disahkannya Fatwa Medsosiah tepat di bulan Ramadan, setiap pengguna media sosial dapat menahan diri dari hal-hal yang tidak baik.