Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta tidak ragu menerapkan skema perlindungan bagi industri nasional dalam bentuk hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif.
Kemudian juga harus ada mekanisme pemeriksaan dan pengawasan dari sisi kualitas maupun standar bagi produk impor agar tak leluasa bebas masuk ke Indonesia.
Ekonom, sekaligus Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai, mekanisme penerapan hambatan perdagangan sangat mungkin pemerintah terapkan. Ini meski hampir semua negara yang masuk era perdagangan bebas membuat banyak kesepakatan untuk menghilangkan hambatan perdagangan.
Indonesia misalnya, tercatat paling banyak menandatangani perjanjian perdagangan bebas (free trade agrement/FTA), secara bilateral maupun multilateral. FTA sebagian besar hanya mengatur kesepakatan mengenai tarif.
Menurut Enny, banyak negara yang memanfaatkan hambatan non tarif measurement (NTM) untuk melindungi pasar domestik. Amerika Serikat tercatat memiliki 4.780 NTM, China 2.322 NTM, Brazil punya 2.071 NTM, Uni Eropa sebanyak 1.845, Kanada 1.727 NTM, dan Jepang 1.294 NTM.
Baca Juga
Advertisement
“Sementara Indonesia hanya memiliki 272 NTM, bahkan malah bersemangat untuk memperlonggar masuknya barang impor,” ujar dia, Rabu(7/6/2017).
Berdasarkan kategori NTM, Enny menjelaskan, negara-negara yang industri manufakturnya berkembang pesat seperti Jepang dan Malaysia, cenderung lebih banyak menggunakan instrumen technical barrier to trade (TBT).
Sementara negara-negara yang unggul pada produk-produk pertanian seperti Australia dan New Zealand, cenderung lebih banyak menggunakan sanitary and phytosanitary (SPS).
Adapun dari 272 NTM yang diterapkan Indonesia, sebagian besar atau sekitar 80 persen adalah jenis technical barrier to trade (113) dan sanitary and phytosanitary (102).
Mengingat industri dan produk pertanian dalam negeri masih berdaya saing rendah, Indonesia harus lebih kreatif dan memperbanyak skema-skema NTM yang tepat.
Enny mencontohkan, penerapan Permendag 82/2016 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja dan Baja Paduan dan Produk Turunan, merupakan salah satu kebijakan NTM dan cukup positif bagi industri karena dalam Permendag, importir wajib memenuhi beberapa persyaratan.
Diantaranya ketentuan verifikasi oleh surveyor yang dilakukan di negara asal/muat barang sebelum barang dikapalkan ke Indonesia. Laporan Surveyor (LS) harus telah diterima importir sebelum barang tiba di pelabuhan tujuan. Artinya, LS adalah salah satu dokumen yang disyaratkan dalam proses customs clearance.
"Ketentuan ini tentu bagus untuk melakukan perlindungan industri besi dan baja dalam negeri,' ujar Enny.
Namun, ia juga memberi beberapa catatan, antara lain harus ada kejelasan terhadap jenis produk impor yang masuk pengendalian. Pengendalian impor bahan baku seperti gavalum (bahan baku baja ringan), cold rolled coil (CRC) dan hot rolled coil (HRC) justru dapat berpotensi merugikan daya saing industri baja dalam negeri.
Pasalnya Krakatau Stell yang mestinya fokus membangun industri hulu dengan memperbesar produksi CRC dan HRC ternyata masih lemah dan tidak efisien.
Bila pengendalian diterapkan pada bahan baku, maka akan memperpanjang rantai proses importasi dan berdampak pada peningkatan biaya bahan baku.
Di sisi lain, Permendag 77/2016 tentang Ketentuan Impor Ban merupakan langkah maju karena disusun untuk mendorong industri nasional karena impor hanya boleh dilakukan oleh perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-P) yang telah mendapatkan ijin dari Menteri. Sehingga, impor semata untuk melengkapi proses produksi ban dalam negeri.
Enny menegaskan, tak kalah penting, pemerintah harus memiliki keberpihakan yang kongkrit. Tidak hanya berorientasi jangka pendek, yang penting terpenuhi kebutuhan dan harga terkendali. Ketahanan industri di dalam negeri juga dinilai lebih penting.