Liputan6.com, London - Charisse O'Leary yang merupakan istri dari Richard Redouane mengaku telah mengalami masa-masa sulit selama menikah dengan pelaku terorisme tersebut sejak lima tahun belakangan.
Dikutip dari laman News.com.au Rabu (7/6/2017), wanita berusia 38 tahun tersebut menikah dengan Redouane di Irlandia pada 2012. Hal itu membuat Redouane bisa tinggal di Inggris setelah status pengungsinya ditolak.
O'Leary mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia lama-kelamaan "membenci" suaminya. Akhirnya dia berpisah dengannya pada bulan Januari setelah sang suami mencoba memaksanya untuk masuk Islam dan memaksakan keyakinannya yang ekstrem pada anak perempuan mereka, Amina.
Baca Juga
Advertisement
Ketika O'Leary melihat ada indikasi radikalisme dalam diri suaminya, ia mengaku melihat tingkah sang suami menjadi aneh.
Salah satunya, ujari dia, seperti melarang putrinya untuk tidak masuk ke dalam kelas tari yang telah diikuti sebelumnya atau menonton TV karena itu akan membuat putri mereka menjadi "gay".
"Dia selalu benar-benar egois dan saya cuma bisa pasrah," kata O'Leary kepada seorang teman.
Curhat O'Leary itu baru ia katakan pasca-pembebasan dirinya oleh polisi tanpa tuduhan apa pun.
Dia adalah satu dari 12 orang yang ditahan setelah polisi anti-terorisme mendobrak pintu apartemennya selama serangkaian penggerebekan pada hari Minggu pagi.
Saksi mata mengatakan bahwa O'Leary berteriak "jangan menembak, jangan menembak" karena tentara bersenjata berat menyerbu properti tersebut, yang digambarkan sebagai unit subsidi untuk perempuan yang rentan. Apalagi saat itu ada bayinya, Amina, yang masih berusia 17 bulan.
Sebelumnya, pada Sabtu menjelang Minggu malam telah terjadi dua serangan terorisme yang berpusat di ibu kota Inggris tersebut.
Insiden pertama terjadi pukul 22.00 saat mobil van menabrak sejumlah pejalan kaki di Jembatan London atau London Bridge. Tak berapa lama, serangan penusukan terjadi di Borough Market, pusat kafe dan bar di jantung ibu kota itu.
Dilaporkan, enam orang tewas dan 30 lainnya terluka. Atas insiden tersebut polisi menembak hingga tewas tiga pria yang diduga pelaku penyerangan.
Para terduga pelaku itu menggunakan baju dengan sejumlah kaleng yang menempel. Seakan-akan itu adalah rompi berisi bom untuk melakukan bunuh diri.
Salah satunya adalah Rachid Redouane yang berusia 30 tahun. Polisi menyebutnya sebagai keturunan Maroko-Libya.
Redouane, yang bekerja sebagai koki, juga menggunakan nama Rachid Elkhdar. Ia relatif tak dikenal oleh polisi.