Liputan6.com, Jakarta - Anggota Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Tindak Pidana Terorisme dari fraksi PDIP Risa Mariska menilai tak masalah atas pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Namun begitu, langkah itu harus sesuai UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Menurutnya, Pansus Terorisme harus patuh pada UU TNI agar tidak terjadi tumpang tindih undang-undang.
Advertisement
"Saya kira Pansus akan lebih melihat kepada ketentuan hukumnya. Kita tidak bisa menabrak UU yang ada," kata Risa di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Rabu (7/6/2017).
Anggota Komisi III DPR ini menerangkan, dalam UU TNI jelas diatur operasi militer selain perang. Hal itu kata dia, menjadi acuan Pansus dalam membahas Revisi UU Terorisme.
Risa menambahkan, dalam draf revisi UU Terorisme yang diserahkan pemerintah ke Pansus, keterlibatan TNI juga masih sebatas dalam fungsi perbantuan.
"Kita perkuat saja. UU ini memperkuat atau mengisi ruang-ruang yang memiliki kelemahan saja. Kemudian memperkuat dari apa yang sudah ada dan berjalan seperti operasi Tinombala. Itu cukup diapresiasi dunia internasional," terang dia.
Risa mengungkapkan, pembahasan soal pelibatan TNI di Pansus masih jauh. Hingga kini Pansus belum tahu seperti apa keinginan pemerintah melibatkan TNI dalam memberantas terorisme.
Selama ini, kata dia, penyidik Polri dan Densus 88 hanya perlu menambah jangka waktu penyidikan terhadap terduga teroris.
"Karena ini menjadi kesulitan penyidik. Kesulitan di lapangan secara geografis sulit, kemudian teroris begitu ditangkap belum tentu bisa ngomong. Mereka pasti diam dulu. Enggak mungkin mereka mau bicara satu atau dua hari. Pasti butuh namanya pendekatan emosional. Hal itu yang dilakukan Pak Tito (Kapolri) saat menjadi kepala Densus 88," papar Risa.
Pansus hanya memperkuat apa yang sudah ada dalam UU Terorisme. Masa penahanan penangkapan terduga teroris yang selama ini 7 hari kini telah disepakati penambahan 7 hari dan dapat diperpanjang hingga 21 hari.
"Inilah yang menjadi masalah atau kendala di teman-teman Densus selama ini," kata Risa.