Jelajah Pagi di Gua Peninggalan Sesepuh Cirebon

Gua Sunyaragi juga dibangun sebagai pesan dan simbol keberagaman masyarakat Cirebon.

oleh Panji Prayitno diperbarui 08 Jun 2017, 06:02 WIB
Gua Sunyaragi yang dibangun pada tahun 1596 merupakan salah satu maha karya para sesepuh Cirebon yang masih berdiri kokoh dan banyak dikunjungi wisatawan hingga kini. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Gua Sunyaragi yang dibangun pada 1596 merupakan salah satu mahakarya para sesepuh Cirebon yang masih berdiri kokoh. Gua tersebut banyak dikunjungi wisatawan hingga saat ini, terutama saat pagi hari.

Bangunan yang terletak di Taman Sari, Kampung Sunyaragi, ini sebagian besar terbuat dari batu karang dan batu bata. Memiliki luas situs sekitar 1,8 hektare di zona inti dan 3,8 hektare di zona penyangga.
Gua Sunyaragi juga dibangun sebagai pesan dan simbol keberagaman masyarakat Cirebon. Apa isi bangunan atau benda yang ada di dalam situs Gua Sunyaragi ini?

Pengelola Gua Sunyaragi, Jajat Sudrajat, mengatakan hingga saat ini belum ada perubahan terkait kondisi situs. Bahkan, beberapa tempat yang rusak akibat serangan Belanda pun belum dipugar kembali.

"Kita belum menemukan blue print asli Gua Sunyaragi. Jadi kalaupun mau merehabilitasi juga kebingungan seperti apa bentuk bangunan awalnya," ucap Jajat di Cirebon, Jawa Barat, Rabu, 7 Juni 2017.

Gua Sunyaragi dibangun dengan konsep kaum muslim yang beragam, yakni dengan dilibatkannya para arsitek Tiongkok. Pembangunan Gua Sunyaragi tidak meninggalkan identitas lama masyarakat Cirebon yang kental dengan agama Hindu.

Ini dibuktikan dengan ditemukannya Patung Siwa di sebelah barat daya Alun-alun Gua Sunyaragi. Konon, dahulu patung Siwa menjadi tempat pemujaan oleh masyarakat sekitar sebelum Islam masuk.

"Masuk Islam mengganti nama menjadi patung Kaji Sela, artinya Haji Batu. Maknanya karena zaman dulu pergi berhaji sangat sulit, jadi kita harus menguatkan niat seperti batu agar bisa berangkat haji," tutur Jajat.


Syiar Islam dengan Kearifan Lokal

Gua Sunyaragi yang dibangun pada tahun 1596 merupakan salah satu maha karya para sesepuh Cirebon yang masih berdiri kokoh dan banyak dikunjungi wisatawan hingga kini. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Patung Kaji Sela di Gua Sunyaragi saat ini diyakini sebagai bagian dari leluhur warga RW 2, Taman Sari, Kota Cirebon. Tidak sedikit warga pribumi mengadakan sesajen jika ingin menggelar pesta hajat.

"Ini sebenarnya ritual yang membuktikan syiar Islam pada zaman dulu masuk ke negeri kita menggunakan kearifan lokal," ujar Jajat.

Posisi asli bangunan Gua Sunyaragi menghadap ke timur atau ke laut pantura Cirebon. Ini memiliki arti bahwa manusia atau masyarakat Cirebon selalu siap menyambut kehidupan, menyongsong matahari.

"Pintu masuk sebenarnya dari Alun-alun Sunyaragi. Tapi saat sekarang fasilitas pemerintah dan di dekat jalur pantura ada di selatan dan barat. Maka, dibukalah pintu sebelah selatan atau bagian belakang Gua Sunyaragi," dia memaparkan.

Dari pintu masuk sebelah selatan terdapat Gua Pengawal, tempat istirahat para pengawal kesultanan. Di sebelah utara Gua Sunyaragi terdapat Gua Simanyang atau dalam bahasa kekinian seperti pos jaga dari itu pintu depan.

Setelah melewati Gua Penjaga, pengunjung juga bisa melihat Gua Pande Kemasan. Dia menjelaskan, gua yang diambil dari kata "Pande" (ahli) dan "Kemasan" (cenderamata), merupakan hasil karya Sultan Sepuh ke-5 Matangaji untuk memberikan cendera mata bagi mereka yang berkunjung ke Sunyaragi.

Hanya saja, dalam catatan sejarah, di Pandekemasan Sultan Matangaji juga membuat keris dan tombak untuk memperkuat pasukan kesultanan, dan penjaga yang ada. Namun, gua tersebut dihancurkan oleh Belanda karena dianggap menghimpun perlawanan.

"Karena dulu merupakan area privat, hanya keluarga dan kerabat kesultanan yang boleh masuk. Kemungkinan ada yang membocorkan terkait Pandekemasan," sebut dia.

Di antara Gua Simanyang dan Gua Pengawal terdapat Bangsal Jinem, berfungsi sebagai tempat para pembesar maupun keluarga kasultanan menikmati pagelaran di alun-alun pintu utama Gua Sunyaragi.

Sementara itu, bangsal berarti ruangan dan jinem berasal dari kata "Siji" (satu) dan "Enem" (enam). "Artinya kamu harus yakin pada yang enam, yakni rukun iman dan yang satu yakni Allah," ujar dia.

Di belakang Bangsal Jinem terdapat Mande (Tempat) Beling (Marmer). Dahulu, Mande Beli menjadi tempat Sultan menerima tamu, memberikan wejangan dan nasihat. Sebelah selatan Mande Beling terdapat Gua Pawon, gua ini berfungsi sebagai tempat menyimpan perbekalan yang dibawa kesultanan.

"Karena zaman dulu tak kenal adanya konsep perbudakan. Jadi perbekalan ditaruh di Gua Pawon," kata dia.


Biara di Tengah Danau

Gua Sunyaragi yang dibangun pada tahun 1596 merupakan salah satu maha karya para sesepuh Cirebon yang masih berdiri kokoh dan banyak dikunjungi wisatawan hingga kini. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Di sebelah Gua Pawon terdapat Gua Walet. Dia menjelaskan, keberadaan Gua Walet ini karena dahulu terdapat pohon beringin besar, sehingga disukai burung walet.

"Dalam catatan Belanda tahun 1684, Gua Sunyaragi dijuluki biara di tengah danau. Tapi sekarang sudah tidak ada pohon besar dan danau tidak ada," ucap Jajat.

Di sebelah utara Gua Pawon terdapat ada Monumen Tiongkok atau Monumen China. Bentuknya seperti makam China. Monumen ini dibuat hanya untuk mengenang bahwa salah satu arsitek yang berperan membangun Gua Sunyaragi berasal dari Tiongkok.

Di depan Monumen China terdapat Patung Garuda yang dililit ular (candrasangkala). Patung tersebut melambangkan kegagahan dan kekuatan seseorang, tapi segagah apa pun seseorang tetap akan dililit masalah.

"Di bagian atas depan Monumen China ada namanya Gua Padang Ati. Padang artinya terang dan ati artinya dari Hati. Maknanya seruwet apa pun masalahmu tenangkanlah hatimu," tutur Jajat.

Setelah Monumen China, terdapat juga Gua Kelanggengan (abadi). Menurut Jajat, dahulu Gua Kelanggengan menjadi tempat putra-putri kesultanan bersemedi karena akan mewujudkan niatnya.

Di depan pelataran Mandebeling, terdapat Kolam Kaputren yang merupakan tempat bermain air putra putri keraton. Sebelah kolam terdapat Gua Langse (tirai) dan di sebelah utara kolam terdapat patung gajah yang mengeluarkan air saat putra putri keraton sedang mandi.

"Gua Langse ini karena dulu dari atas mengalir air menutupi gua jadi seperti tirai. Tapi dari luar tidak bisa melihat ke dalam gua, sementara dari dalam bisa melihat putra putri yang sedang mandi," ujar dia.

Sebelah barat Mandebeling terdapat Gua Peteng (gelap). Gua ini memiliki arti harus mampu melawan dan bersikap terang meski dalam keadaan gelap. Di atas Gua Peteng terdapat Cungkup Gua Puncit atau menara pengawas Kesultanan Cirebon.

Di bagian selatan, terdapat ruangan untuk putra (panembahan) dan putri (kaputren) keraton. Untuk tamu yang akan memasuki Gua Sunyaragi saat itu harus melalui Balekambang (tempat air) yang berada di sebelah barat Gua Sunyaragi.

"Orang atau tamu yang mau masuk ke Gua Sunyaragi dari luar keraton harus pakai rakit karena ini area pribadi," tutur Jajat.

Di bagian belakang Gua Sunyaragi terdapat Gua Argajumut. Berasal dari kata "Arga" (sajian) dan "Jumut" (mengambil), gua ini dahulu diyakini menjadi tempat untuk mengambil makanan. Sebab, di area tersebut terdapat altar.

Namun, kata dia, masyarakat setempat mengatakan Gua Arga Jumut sebagai tempat memberikan nasihat, wejangan sembari menikmati hidangan. "Sebagian masyarakat mengartikan 'Arga' dari kata raga dan 'Jumut' dari kata tua jadi tempatnya orang tua. Di situlah memberikan nasihat wejangan sambil makan."

Tahun 1848 salah seorang putri keturunan Syekh Syarif Hidayatullah, yakni Ratu Raja Adima membangun pesanggrahan. Pesanggrahan ini dijadikan tempat istirahat ketika keluarga keraton ingin menginap di Gua Sunyaragi.

"Tapi sehari-harinya Pasanggrahan juga dijadikan tempat tinggal lurah atau orang yang ditunjuk untuk menjaga, memelihara, dan merawat Gua Sunyaragi," pengelola Gua Sunyaragi itu memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya