Tunjukkan Empati ke Qatar Diancam Dibui dan Denda Rp 1,8 Miliar

Uni Emirat Arab menegaskan, barang siapa menunjukkan empati ke Qatar akan dihukum kurungan penjara dan denda Rp 1,8 miliar.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 08 Jun 2017, 12:30 WIB
Sejumlah negara yang dipimpin oleh Arab Saudi mengambil langkah terkoordinasi, memutuskan hubungan dengan Qatar (AP Photo/Kamran Jebreili, File)

Liputan6.com, Doha - Sejumlah negara yang dimotori Arab Saudi memilih memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, sebuah negara kecil di kawasan Teluk yang masuk daftar negara terkaya di dunia.

Sekutu Saudi dalam memblokade Qatar adalah Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir, Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius, dan Mauritania.

Belakangan, Uni Emirat Arab bahkan meningkatkan tekanan. Mereka mengancam siapa saja yang memublikasikan komentar simpati secara online untuk Qatar akan diganjar kurungan tiga hingga 15 tahun penjara.

Tak hanya dibui, pelaku juga akan didenda minimum 500 ribu dirham atau setara Rp 1,8 miliar. Demikian seperti dilansir CNN.

Di belahan dunia lain, Australia turut bereaksi. Situs Smartraveller milik pemerintah Australia memperbarui imbauan terhadap warganya yang bepergian ke Qatar.

"Pemerintah UEA menyatakan, adalah pelanggaran menunjukkan simpati atau prasangka terhadap Qatar, atau menolak kebijakan pemerintah UEA terkait dengan Qatar," demikian pernyataan situs pemerintah Australia seperti dikutip dari News.com.au, Kamis (8/6/2017).

"Itu termasuk melalui sosial media atau melalui bentuk tulisan atau verbal lainnya. Pelanggar dapat dipenjara dan dikenai denda dalam jumlah besar," bunyi imbauan di situs itu.

Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash menegaskan, akan ada ancaman yang jauh lebih buruk lagi jika Qatar bersikeras mendanai kelompok ekstremis dan teroris -- tudingan yang menjadi dasar pemutusan hubungan diplomatik oleh Arab Saudi Cs.

Salah seorang anggota penguasa UEA Sultan Sooud Al Qassemi mengatakan, "Doha saat ini benar-benar terisolasi. Doha perlu mengambil langkah serius dengan sangat cepat untuk menenangkan, bukan hanya tetangga mereka, tapi juga sekutu di seluruh dunia."

Qatar sendiri menolak semua tuduhan yang diarahkan kepadanya.

Pendiri Bahrain Watch yang juga peneliti Teluk Ala'a Shehabi mengatakan kepada News.com.au, krisis diciptakan dengan tujuan "mematahkan tulang" sebuah negara kecil yang berbagi perbatasan darat dengan Arab Saudi.

"Ini sudah menjadi persoalan tentang kedaulatan nasional Qatar, sebuah negara kecil yang dikelilingi tetangga-tetangga yang sangat besar. Saudi pada dasarnya tengah mengatakan kepada Qatar bahwa AS juga sedang mengisolasinya," ungkap Shehabi.

"Dari segi waktu, ini bukan suatu kebetulan mencuat setelah kunjungan Trump. Ini tentu direncanakan dan diatur. Negara-negara lain telah berjalan jauh dan melampaui kenyataan. Iran dulu musuh bersama dan tiba-tiba dalam satu malam Qatar ada di posisi tersebut. Kita belum pernah melihat hal yang seperti ini," imbuhnya.


'Kecil-Kecil Cabai Rawit'

Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda krisis Teluk yang menyebabkan terisolasinya Qatar akan mereda. Boleh jadi, pertanyaan yang sama menggelayut di benak setiap orang, apa yang akan terjadi selanjutnya di negeri yang hanya memiliki luas 11.571 kilometer persegi tersebut? Bangkrut?

Dilansir dari News.com.au, Qatar merupakan salah satu pemilik Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar di dunia. SWF adalah dana abadi yang dimiliki oleh pemerintah yang diinvestasikan dalam instrumen seperti deposito untuk mendapatkan bunga, saham untuk mendapatkan gain atau dividen, atau instrumen bentuk lain untuk mendapatkan gain atau pendapatan jenis lain.

Otoritas Pengelola Dana Investasi Qatar dilaporkan memiliki lebih dari US$ 440 miliar aset secara global.

Aset tersebut "ditanam" mulai dari di tim sepak bola, merek mewah, hingga portofolio properti kelas atas. Itu termasuk 17 persen di perusahaan mobil Volkswagen, nyaris 10 persen di perusahaan minyak Rusia Rosneft, klub sepak bola Paris Saint-Germain, dan sejumlah bangunan prestise di London seperti The Shard, the Olympic Stadium, dan sebagian besar kawasan distrik bisnis Canary Wharf.

Menurut Shehabi, ini merupakan "aset strategis utama" yang menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk keberlanjutan menyusul krisis pangan tahun 2006 yang membuat Qatar berpikir kritis soal "keamanan".

"Saya rasa mereka lebih strategis dari yang kita pikirkan. Strategi investasi mereka lebih banyak berkelanjutan dan skenario yang memungkinkan mereka mempertahankan diri secara mandiri," ucap Shehabi.

"Jika terjadi keadaan darurat atau perang tiba-tiba dan 90 persen kebutuhan pangan tergantung pada impor, itu adalah risiko yang sangat besar. Dalam hal ini, saya rasa strategi tersebut akan diuji."

"Itulah satu fakta, bahwa mereka sebenarnya sangat kaya. Sejauh ini tidak ada yang memangkas penjualan atau impor gas Qatar dan itu yang paling penting. Selama kondisinya terus begitu, ini bukan krisis besar di bagi mereka," tegas Shehabi.

Pada Rabu, diplomat tertinggi Arab Saudi menyebut Qatar sebagai "saudara" dan mengatakan kebijakan diplomatik Saudi Cs didesain untuk menghentikan dukungan Doha terhadap ekstremisme.

Presiden AS Donald Trump pada awalnya memuji upaya isolasi Qatar. Namun belakangan setelah bicara dengan Raja Salman melalui sambungan telepon, Trump menekankan perlunya negara-negara Teluk untuk bersatu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya