Miangas, Pulau Menangis yang Jadi Rebutan 3 Negara

Ada masanya Miangas kerap diwarnai tangis dan air mata.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 09 Jun 2017, 09:00 WIB
Tanjung Jokowi di Pulau Miangas, Sulawesi Utara. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Liputan6.com, Talaud - Memanasnya situasi di Filipina dalam beberapa pekan terakhir ini mendorong pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius pada wilayah perbatasan Filipina – Indonesia. Salah satunya Pulau Miangas di Provinsi Sulawesi Utara, daerah yang pernah diperebutkan Spanyol, Amerika Serikat, dan Belanda beberapa abad silam.

Indonesia dan Filipina memang secara terbuka tidak pernah bersengketa atas keberadaan Pulau Miangas. Namun hubungan komunikasi antara masyarakat di wilayah perbatasan itu kerap menjadi persoalan.

Berbeda dengan sejumlah pulau di Indonesia seperti Sipadan dan Ligitan yang menjadi wilayah sengketa dan akhirnya jatuh ke tangan Malaysia, Pulau Miangas masih menjadi bagian Indonesia.

"Sejak Indonesia merdeka, kedua negara telah menandatangani perjanjian persahabatan damai dan kerja sama dalam berbagai bidang. Termasuk di dalamnya masalah perbatasan dua negara," ucap Ivan RB Kaunang, Jumat, 2 Juni 2017.

Ivan mengungkapkan, pada 1980-an, soal Miangas menjadi perbincangan hangat karena banyaknya laporan pelintas batas dan dan penyelundupan yang merajalela di perairan Miangas, Sangihe, dan Filipina.

"Di era tahun 90-an kembali terjadi, bahkan disebut sebagai jalur terorisme," ucap Ivan, sejarawan asal Sulut, yang banyak mengkaji wilayah kepulauan termasuk Miangas.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya ini menuturkan, keberadaan Pulau Miangas ternyata sangat strategis sejak beberapa abad silam. Menjadi tempat penyerbuan para perompak, hingga rebutan dari beberapa negara mewarnai sejarah panjang keberadaan pulau terluar yang masuk Kabupaten Kepulauan Talaud ini.

Belanda menancapkan kakinya di wilayah Sangihe dan Talaud (Satal), yang ditandai dengan penandatanganan kontrak antara Belanda dan raja-raja Satal pada 1677 yang disebut Corpus Diplomaticum Indicum. Perjanjian kontrak itu mencakup wilayah pulau-pulau termasuk Miangas.

Ivan mengungkapkan, ketika itu Miangas sudah dihuni penduduk, meski ada beberapa versi asal-usul penduduk di daerah itu. "Ada versi yang mengatakan penduduk pertama Pulau Miangas berasal dari sebuah desa yang disebut Melu, di salah satu pulau di Mindanao," ungkap dia.

Dalam versi itu, orang pertama yang datang adalah Padudu beserta keluarganya. Dalam cerita rakyat yang berkembang, Padudu dan keluarganya dianggap sebagai Adam dan Hawa di pulau itu. Dalam perkembangan kemudian penduduk pribumi mempunyai pemimpin yang bernama Raja Bawarodia.

Sementara versi lainnya menyebutkan, penduduk asli Pulau Miangas adalah seorang wanita yang berasal dari Pulau Merampi Nanusa yang kemudian kawin dengan Bawarodia. Dari hasil perkawinan mereka, dilahirkan tiga anak.

Tiga anak kemudian keluar dari Pulau Miangas karena serangan perompak laut Sulu-Mindanao. Salah satu anak, yakni Larungan, kembali ke Miangas yang tak berpenghuni. Larungan dan Baworodia dianggap sebagai manusia pertama di Miangas. Bahasanya juga dialek Nanusa-Talaud.

"Ini sesuai tulisan Herman Lam di tahun 1932, seorang ahli botani yang melakukan penelitian di Pulau Miangas sejak tahun 1926. Ketika itu juga ia sempat bercakap-cakap dengan penduduk tertua dan mengetahui benar sejarah Miangas pada waktu itu adalah Jacob Naung," ujar Ivan menjelaskan.

 


Asal Usul Nama Miangas

Gubernur Sulawesi Utara membawa bantuan makanan bagi warga Miangas yang beberapa kali diintai bahaya kelaparan. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Belum ada kajian sejarah asal-usul penamaan Pulau Miangas. Namun dari sumber-sumber di Kepulauan Nanusa, pulau itu dinamakan melangis atau malangis. Dalam dialek setempat juga disebut meangas atau meangis, yang kemudian menjadi miangas.

"Hal ini dikaitkan dengan seringnya terjadi penyerbuan perompak asal Sulu di pulau ini, sehingga tangisan dan air mata selalu mewarnai kehidupan penduduk asli," ucap Ivan yang juga penggiat budaya di Sulut ini.

Setelah Belanda masuk, gelar raja dan ratu diganti kepala desa atau kepala distrik. Pada 1889 di Miangas, kedudukan ini sudah dipegang oleh Kapitan Laut, sebagai gelar umum kepala desa di Talaud.

Pada 1895, Miangas dikunjungi Residen Manado, Mr EJ Jellesme. Kemudian pulau itu dinamakan Jellesma. Maksud kunjungan itu adalah untuk mengecek kebenaran atas kesetiaan Kapitan Laut Miangas yang menolak mengibarkan bendera yang diberikan dari kapal Spanyol.

Dalam kunjungan itu ikut pula Mr Croil, pendeta dari Manado yang membaptis 254 orang di Miangas. "Pada tahun itu agama Kristen pertama masuk di Miangas," tutur dia.

Di abad ke XVII, Spanyol sudah menduduki Filipina. Bahkan mereka membangun pertahanan laut di Zamboanga, Filipina Selatan, untuk mengontrol perairan, khususnya yang menghubungkan Laut Sulu dan Laut Sulawesi, termasuk Miangas.

Miangas juga dikenal dengan nama Polmas, yang artinya pulau dengan banyak pohon kelapa. Palmas atau Las Palmas adalah nama yang diberikan Spanyol.

"Tidak diketahui kapal Spanyol kemudian singgah di pulau itu ataukah hanya lewat dan memberi Anda bahwa pulau itu adalah temuan mereka," tutur Ivan.

Persoalan kepemilikan Pulau Miangas berawal ketika Spanyol mencantumkan nama pulau tersebut dengan lama Las Palmas atau Polmas dalam peta pelayaran laut mereka tanpa menyelidiki lebih dulu siapa yang berdaulat atau pulau itu. Menurut Spanyol, pulau itu ditemukan pada 1648.

Dalam sejarah Indonesia, periode abad 16 dan 17 adalah zaman pelayaran dan perdagangan, dua bangsa menguasai lautan yaitu Spanyol dan Portugal. Spanyol menguasai Filipina, juga menjalin persahabatan dengan Tidore, dan beberapa kerajaan di Sangihe besar seperti Manganitu, dan Siau.

Sementara Portugis di Ternate, dan menyusul belakangan VOC Belanda. Diketahui Belanda kemudian menandatangani kontrak dengan raja-raja Satal tahun 1677 yang disebut Corpus Diplomaticum Indicum. Perjanjian kontrak ini mencakup wilayah pulau-pulau termasuk Miangas.

"Latar belakang sejarah ini memungkinkan Spanyol-lah yang pertama berada di perairan antara Sulawesi dan Filipina. Mereka mengklaim bahwa merekalah yang menemukan, memberi nama, dan berdaulat atas Pulau Miangas," tandas Ivan.

Pada 1897-1898 terjadi perang antara Spanyol dan Amerika Serikat. Saat itu, Spanyol sudah menduduki Filipina termasuk pulau-pulau di sekitarnya.


Ke Pangkuan Indonesia

Pengibaran bendera Merah Putih di Miangas. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Perang itu dimenangkan oleh Amerika dan diakhiri dengan penandatanganan perjanjian damai yang dikenal dengan Traktat Paris, 10 Desember 1898 di Paris. Isinya, Spanyol harus menyerahkan seluruh wilayah Filipina, termasuk pulau di sekitarnya.

"Spanyol memasukkan Pulau Palmas ke dalam wilayah jajahannya. Akibatnya timbul konflik antara Amerika dan Belanda soal kepemilikan Pulau Palmas," jelasnya.

Hal menarik terjadi selama konflik antara Amerika dan Belanda berlangsung. "Apabila ada kapal yang datang membawa bahan makanan, maka penduduk lokal menaikkan bendera sesuai dengan kapal siapa yang datang. Kalau kapal Amerika, maka bendera negara Paman Sam itu dikibarkan. Sebaliknya bendera Belanda dinaikkan jika kapal negara itu yang merapat," tutur Ivan.

Tuntutan Amerika Serikat untuk memiliki pulau tersebut ditolak Belanda dengan alasan, hak penemuan tanpa diikuti dengan pendudukan dan niat yang efektif untuk berdaulat itu belum dapat dikatakan sah. Belanda mengungkap bahwa Miangas masuk dalam gugusan Kepulauan Talaud dan secara administratif masuk dalam Keresidenan Manado.

Pada 1915, sebuah kapal peneliti pantai milik Amerika bernama Pathfinder mengunjungi Miangas untuk memastikan posisi yang tepat atas lembaran peta laut Belanda Nomor 183.9.

"Hasil pengukuran ini kemudian disepakati kedua pihak bahwa untuk sementara pulau tersebut dalam status quo. Untuk penyelesaiannya melalui Pengadilan Mahkamah Internasional di Deen Haag, kesepakatan ini terjadi pada 23 Januari 1925," ungkap dosen yang juga aktif menulis buku-buku sejarah ini.

Pada 4 April 1928, sebagai hakim tunggal Pengadilan Mahkamah Internasional di Deen Haag, Dr Max Hubert asal Swiss memutuskan masalah kepemilikan Pulau Miangas dimenangkan oleh Belanda. Hal itu berdasarkan penelitian lama melalui proses historis dan hukum, asal-usul penduduk, kebangsaan, bahasa, termasuk daerah jajahan lain Belanda di Indonesia.

"Pertimbangan hukum yang disampaikan Hubert bahwa penemuan sajalah tidak cukup untuk memperoleh hak pendudukan. Bahwa pulau itu harus diberikan kepada Belanda karena menurut hukum internasional yang didasarkan pada kedaulatan yang tidak terputus," papar Ivan.

Kecuali Papua Barat, kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda diikuti juga penyerahan seluruh wilayah jajahan, termasuk Pulau Miangas. Kini Miangas telah berkembang menjadi kecamatan sendiri, masuk dalam Kabupaten Kepulauan Talaud.

Meski sempat ada insiden pengibaran bendera Filipina, perhatian pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah juga diberikan serius ke salah satu dari dua pulau yang berbatasan langsung dengan Filipina ini.

Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Sulut, Olly Dondokambey pada Oktober 2016 lalu mengunjungi sekaligus meresmikan Bandara Miangas. Bahkan salah satu area di Pulau Miangas dinamakan Tanjung Jokowi.

"Perhatian pemerintah sangat besar untuk memajukan pulau-pulau terluar, termasuk Miangas," ujar Olly kala itu.

Bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Rabu, 31 Mei 2017 lalu, Olly kembali mengunjungi Pulau Miangas. Kali ini untuk memastikan kondisi keamanan di wilayah itu mengingat situasi di Filipina yang sedang memanas. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara bahkan akan memasang drone untuk memperkuat sistem keamanan.

"Drone itu akan membantu pihak TNI dalam menjaga pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, memperkuat pengawasan di Pulau Miangas. Ini bisa menjangkau sampai 7 kilometer sehingga efektif," ujar Olly.

Dia menegaskankan, selain drone, tentunya semangat warga Miangas untuk menjaga keutuhan NKRI adalah hal utama. "Masyarakat, pemerintah bersama pihak TNI dan Polri akan menjaga NKRI. NKRI harus dipertahankan kedaulatannya," katanya.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya