Iran: 5 dari 6 Pelaku Teror Teheran Mantan Militan ISIS

Intelijen Iran mengklaim bahwa 5 dari 6 pelaku teror Teheran merupakan mantan militan ISIS yang pernah bertempur di Irak dan Suriah.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 09 Jun 2017, 09:36 WIB
Polisi memasang garis pembatas di sekitar lokasi terjadinya penyerangan bersenjata di parlemen Iran, Rabu (7/6). Tujuh orang tewas dalam peristiwa ini dan empat orang disandera. (AFP/ATTA KENARE)

Liputan6.com, Teheran - Kementerian Intelijen Iran menyebut, 5 dari 6 pelaku teror Teheran yang terjadi pada 7 Juni 2017 lalu pernah menjadi milisi untuk ISIS. Dalam pernyataan itu, intelijen Iran sekaligus mengonfirmasi bahwa peristiwa tersebut didalangi oleh kelompok ekstremis Sunni.

Peristiwa teror itu terjadi di kompleks Parlemen Iran dan Makam Ayatollah Khomeini. Serangan di kompleks parlemen dilakukan oleh empat orang dan dua pelaku lain merupakan pelaku di Makam Ayatollah Khamenei. Menurut Associated Press (AP) yang mengutip media Iran IRNA, sekitar 17 orang tewas dan 40 lainnya luka-luka atas peristiwa tersebut.

Situs Kementerian Intelijen Iran merilis sejumlah foto jasad para pelaku dan diidentifikasi hanya berdasarkan nama depannya, demi privasi dan keamanan keluarga mereka. Menurut deskripsi intelijen, 5 dari 6 pelaku 'memiliki afiliasi panjang dengan Wahhabi', sebuah aliran ultra-konservatif Sunni di Arab Saudi.

Akan tetapi, pernyataan yang dimuat dalam situs tersebut tidak secara eksplisit menuding Arab Saudi sebagai dalang peristiwa teror tersebut. Meskipun begitu, mayoritas warga Iran sangat menaruh curiga bahwa negara pimpinan Raja Salman itu memiliki andil, demikian seperti yang diwartakan oleh AP, Jumat (9/6/2017).

Selain itu, menurut penjelasan di dalam situs lembaga spionase tersebut, kelima pelaku yang merupakan warga negara Iran pergi bertempur bersama ISIS di Mosul, Irak dan Raqqa, Suriah. Kelima pelaku kembali ke Negeri Persia pada Agustus 2016 atas perintah salah satu pimpinan ISIS, namun harus berpencar setelah otoritas Iran membongkar jaringan sel mereka.

Sementara itu, seorang perempuan yang menjadi tersangka teror 7 Juni 2017 lalu, kini telah diamankan oleh aparat penegak hukum Iran. Kementerian Intelijen tidak menyebut apakah perempuan tersebut turut memiliki afiliasi dengan ISIS.

Pada kesempatan lain, Korps Garda Revolusi Iran (Iran Revolutionary Guards Corps, IRGC) menyebut secara implisit bahwa Arab Saudi dan Presiden Amerika Serikat memiliki andil dalam peristiwa teror di Teheran. Angkatan bersenjata multi-fungsi Iran itu juga mengklaim --secara implisit-- menaruh dendam kepada Arab Saudi.

"Opini dunia, khususnya di Iran, melihat bahwa aksi terorisme itu dilakukan beberapa saat setelah Presiden Amerika Serikat bertemu dengan pemimpin negara yang selalu mendukung teroris (implisit merujuk Arab Saudi). Klaim ISIS juga menunjukkan keterlibatan negara itu atas peristiwa teror tersebut," jelas sebuah pernyataan dari IRGC kepada media Iran Fars News Agency dan dikutip oleh CNN, Kamis 8 Juni 2017.

"Korban tak bersalah akan terbalaskan," tegas IRGC seperti yang dikutip oleh AP, Kamis 8 Juni 2017.

Pada kesempatan yang lain, Presiden Trump membuat sebuah pernyataan tertulis terkait simpatinya terhadap peristiwa di Tehran. Namun, ia juga menyalahkan pemerintahan Iran atas teror yang terjadi di jantung ibu kota negara tersebut.

"Kami turut berduka kepada para korban tidak bersalah yang tewas dan seluruh warga Iran, yang saat ini tengah menghadapi situasi yang sulit. Kami juga ingin menekankan bahwa negara yang mensponsori terorisme berisiko tinggi menjadi korban terorisme itu sendiri," kata Presiden Donald Trump seperti yang dikutip oleh CNN.

Komentar tersebut menuai amarah dari pejabat Iran. Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif berkomentar bahwa pernyataan Presiden Trump 'menjijikan' dan menuduh bahwa AS-lah yang memiliki andil besar dalam serangan tersebut.

"Komentarnya menjijikan. Warga Iran menolak klaim semu AS yang mengaku bersahabat dengan kami," kata Menlu Zarif dalam akun Twitternya.

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash mengimbau agar Iran jangan mengumbar opini yang terpolarisasi. Opini tersebut justru akan semakin memperkeruh situasi politik dan diplomasi di Timur Tengah dan Teluk Arab.

"Pemerintah Iran jangan menggunakan serangan teror tersebut untuk mengemukakan opini yang terpolarisasi untuk menyudutkan Arab Saudi atau mengklaim bahwa mereka berkorelasi terhadap serangan tersebut. Karena sesungguhnya mereka tidak terlibat," kata Gargash seperti yang dikutip AP.

Peristiwa yang mengguncang jantung kota Tehran itu terjadi di tengah krisis politik di Teluk Arab. Mesir, Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan lima negara lain memutus tali diplomasi dan relasi politik dengan Qatar.

Sejumlah faktor pemicu krisis diplomasi mencuat, salah satunya diduga dipicu atas komentar Emir Qatar Sheikh Tamim al-Hamad yang menyebut Iran sebagai 'poros kekuatan Islam' dan ketidaksukaannya atas kebijakan Trump terhadap Negeri Persia. Arab Saudi --rival utama Iran dan koalisi Amerika Serikat-- diduga kesal atas komentar sang Emir dan memimpin 6 negara lain untuk melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar.

Sementara itu, pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei mengatakan bahwa negerinya tidak akan berlama-lama larut dalam duka. Sang pemimpin tertinggi mengatakan, "Bangsa Iran akan terus bergerak maju".

Pasca-teror, saham Iran turun sekitar 2 persen di bursa efek mancanegara, demikian seperti yang dilaporkan oleh AP.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya