Liputan6.com, Sabu Raijua - Presiden pertama RI Sukarno alias Bung Karno terkenal sebagai ahli berpidato. Bahkan, sejak usia muda atau saat masa pergerakan kebangsaan, Bung Karno kerap berpidato membakar semangat rakyat atau pemuda, sehingga berjuluk singa podium.
Sejarawan Peter A Rohi pun punya kisah soal kedatangan Bung Karno di Surabaya, Jawa Timur, pada 1932. Kala itu, kondisi politik di kota pahlawan tersebut sedang hangat-hangatnya.
Bukan hanya Surabaya, semangat kebangsaan juga merasuki para pemuda di berbagai wilayah di Tanah Air seperti Bandung, Jawa Barat, Kota Batavia (nama Jakarta saat dijajah Belanda), dan Semarang, Jawa Tengah.
Bung Karno yang baru setahun lepas dari Penjara Sukamiskin, Kota Bandung, tetap saja berapi-api. Ia membakar semangat persatuan dan nasionalisme pemuda di kota berjuluk Parijs van Java tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Harian Soeara Oemoem pimpinan dokter Soetomo yang memuat pidato Bung Karno diberedel. Pemimpin redaksinya, Junus Sjijaramual, asal Ambon ditangkap. Walau begitu, gejolak di luar tambah menghangat. Pelaut-pelaut dari Korps Marine Belanda menggelar demonstrasi berkaitan dengan rasa kebangsaan itu.
"Mereka protes perlakuan diskriminasi dan penurunan gaji. Mereka menggunakan emblem Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya," ucap sejarawan Peter A Rohi, Kamis, 8 Juni 2017.
Kala itu, Belanda menurunkan pasukan KNIL (Koninkiljke Nederlandsche Indische Leger atau Tentara Hindia Belanda) dari Rampal, Malang, Jawa Timur, menangkapi pelaut sebangsa. KNIL Rampal memang khusus ditugaskan menindas pemberontak pribumi.
Kabar penangkapan pelaut yang berdemonstrasi itu kemudian dikirim dengan telegram ke semua kapal perang Belanda. Kapal De Zeven Provincien yang sedang berlabuh di Aceh, juga memperoleh berita itu, dibocorkan oleh seorang markonis kapal yang bersimpati pada pribumi.
Adalah Julian Hendrik pelaut asal Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, yang mengumpulkan ratusan pelaut pribumi (Indonesia) anak buah kapal perang Belanda itu di sebuah gedung bioskop di Ulee Lheue, Banda Aceh, dengan alasan halalbilhalal. Setiap suku di Nusantara terwakili.
Pemberontakan Kapal De Zeven Provincien
Pembagian tugas kemudian dilakukan. Secara umum pemberontakan dipimpin Josias Kawilarang dari Manado dan Martijn Marseha Paradja dari Timor (sesuai yang tertera pada nisan di Taman Makam Pahlawan).
Pada 3 Februari 1933, pemberontakan dimulai. Komandan Kapal De Zeven Provincien, Eikenboom, lemas. Namun, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, De Jonge, atas izin Menteri Seberang Lautan, Collins di Nederland, Belanda, memutuskan mengebom kapal tersebut pada 10 Februari 1933.
Martijn Paradja beserta sejumlah teman-temannya tewas, antara lain Gozal dan Rumambi dari Manado, Aritonang dari Batak, juga sejumlah nama dari Jawa, Madura, Padang, Palembang, Makassar, Sangir Talaud, dan Ambon. Kuburan mereka sekarang terdapat disatukan dalam satu makam di TMP Kalibata, Jakarta.
"Kawilarang dan Julian Hendrik diadili di pengadilan kolonial di Surabaya. Terungkap bahwa mereka sudah terpengaruh ajaran Bung Karno," tutur penulis buku Kaki Kami Angali ini.
Belanda memutuskan menangkap Bung Karno lalu dibuang ke Ende, NTT, untuk memisahkan dari massa. Mohammad Hatta atau Bung Hatta dan Sutan Sjahrir terkena imbasnya. Kedua pemimpin politik itu dikirim ke Boven Digul, Papua.
Lagi-lagi Harian Soeara Oemoem yang sudah boleh terbit diberedel, kali ini untuk selama-lamanya. Pemimpin redaksinya yang baru, Tjindarboemi, asal Lampung dipenjarakan. Pemerintahan Kolonial pun mengeluarkan Undang-Undang Haatzai Artikelen.
"Kemudian hari saya dan anak saya Joaquim (Inyo) menemukan makam Josias Kawilarang di TMP Tanjung Pinang, sedang makam Julian Hendrik di Desa Emau, Sabu Raijua," kata dia.
Julian Hendrik dikubur menyendiri sepi di bawah pokok siwalan di kampung halamannya, Sabu Raijua, NTT, sebagai penganut Jingitiu yang sejati dengan nama asli Ludji He.
Advertisement