Polemik Konsep Single Mux dalam RUU Penyiaran

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada akhir masa sidang ini.

oleh Rezki Apriliya Iskandar diperbarui 10 Jun 2017, 20:10 WIB
Ketua ATVSI Ishadi S. K. (tengah) menunjukan Naskah Akademik dan RUU Penyiaran Usulan ATVSI didampingi Sekjen ASTVI Neil R. Tobing (kiri) dan Suryopratomo saat memberikan keterangan dalam World Press Freedom Day di JCC (4/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada akhir masa sidang ini. Rencananya, pemerintah dan DPR RI menyetujui RUU Penyiaran ini untuk menggantikan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.

Salah satu hal yang memicu perdebatan dalam RUU Penyiaran yakni terkait pengelolaan multipleksing atau pengalihan dari frekuensi analog ke digital. Adapun tujuan multipleksing sendiri untuk menghemat jumlah saluran fisik, misalnya kabel, pemancar dan penerima (transceiver) atau kabel optik.

"Saya melihat bahwa perubahan teknologi adalah keniscayaan. Harus terjadi, mau tidak mau karena teknologi berkembang terus," kata pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/6/2017).

Sementara itu, dalam RUU Penyiaran 2017, pengelolaan multipleksing diserahkan kepada multiplekser tunggal atau single mux operator. Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Televisi Republik Indonesia atau RTRI ditetapkan sebagai multiplekser tunggal yang mana untuk siaran televisi diberikan kepada lembaga penyiaran televisi publik, TVRI. Hal ini pun memicu perdebatan di beberapa pihak.

"Seharusnya bukan sentralistik. Justru masyarakat harus diberi kepercayaan untuk mengurus termasuk mengurus media massa. Kita sejak reformasi berjuang untuk itu," kata Ermus.

Ermus menilai sistem pengelolaan penyiaran yang sentralistik dan dikelola pemerintah akan membuat independensi media pun dipertanyakan. Maka dari itu, ia mengusulkan pemerintah juga menggandeng pihak swasta.

"Oleh karena itu lebih baik multi mux, diserahkan kepada para pengelola media untuk soal (migrasi) digital ini," kata Ermus.

Pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menilai single mux tersebut hanya salah satu konsep alternatif yang bisa dilakukan.

"Single mux kan hanya salah satu konsep alternatif. Memperoleh digital evidence untuk komunikasi masa depan kami menyiapkan single mux untuk alternatif karena single mux dimiliki oleh lembaga penyiaran," ujar Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Hukum, Henri Subiakto.

Menurut dia, ada yang menganggap keuntungan single mux, di luar badan penyiaran, lembaga penyiaran, berarti single mux-nya netral. "Tapi kalau pakai hybrid (sistem penyiaran digital yang mux-nya tidak tunggal tetapi gabungan antara LPP dan LPS), kalau memang baik nggak apa-apa. DPR awalnya juga single mux, sekarang ada yang bersuara beda (kontra single mux)," lanjut Henri.

Sedangkan menurut Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), sebaiknya RUU Penyiaran tidak menjadikan konsep single mux acuan perubahan undang-undang tersebut. Seperti yang dikatakan Ketua ATVSI, Ishadi SK, sebaiknya pemerintah menggunakan sistem multi mux atau hybrid karena faktor tingginya biaya produksi seperti frekuensi siaran atau slot kanal dan infrastruktur.

"ATVSI mengharapkan atau memohon supaya jangan single MUX. Kami kehilangan biaya sangat besar. Ada baiknya di-share oleh pemerintah sendiri harus lewat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) pembiayaan segala macam itu," ujar Ishadi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya