Liputan6.com, Jakarta - Para penjahat siber terus bergerilya menjerat para korbannya, termasuk membidik emak-emak berusia 35 tahun ke atas. Mereka banyak menjadi korban penipuan komplotan Nigerian Scam dengan modus percintaan.
Diungkapkan analis forensik digital Ruby Alamsyah, jumlah kerugian yang dialami para korban Nigerian Scam jauh lebih banyak daripada kasus ransomware WannaCry yang sempat heboh beberapa waktu lalu.
Nigerian Scam bisa menghasilkan Rp 500 miliar setiap tahun di Indonesia. Jumlahnya bisa lebih besar karena diyakini belum semua korban membuat laporan.
Berdasarkan pemetaan Ruby, pelaku Nigerian Scam banyak berada di luar negeri, yaitu Nigeria, Malaysia, dan Thailand.
"Lebih besar ini (Nigerian Scam) daripada WannaCry. Berdasarkan tiga rekening bitcoin untuk minta tebusan yang kemarin itu (kasus ransomware WannaCry), dalam 48 jam tidak sampai Rp 600 juta dan itu sudah dari seluruh dunia," kata Ruby dalam seminar "Indonesia dan Ancaman Siber yang Merajalela" di Universitas Gunadarma, TB Simatupang, Jakarta, Sabtu (10/6/2017).
Baca Juga
Advertisement
Korban Nigerian Scam dalam setahun terakhir di Indonesia adalah perempuan berusia 35 ke atas. Pelaku menggunakan modus "romantis" atau percintaan, yang terkesan tidak jahat, tapi sebenarnya sangat merugikan.
"Korbannya adalah emak-emak dengan kondisi tertentu seperti janda atau sedang mengalami keretakan rumah tangga, mereka bisa tahu itu. Pelaku menggunakan teknik social engineering dengan modus romansa untuk bisa mendapatkan kepercayaan terlebih dahulu," ujar Ruby.
Lebih lanjut, pria jebolan IT Universitas Gunadarma ini mengungkapkan, pihak kepolisian terhambat untuk menyelesaikan kasus ini karena banyak pelaku berada di luar negeri dan ada korban yang tidak melaporkan kasus tersebut.
"Kendalanya tidak terpantau karena yang melapor sedikit dan banyak pelaku yang di luar, sehingga polisi tidak bisa mengungkap kasus ini hingga tuntas," ungkapnya.
Ia berharap, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bisa mengatasi kasus Nigerian Scam. Pasalnya, Nigerian Scam kerap menargetkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dengan jumlah pengguna internet mobile yang banyak.
Ruby juga mengingatkan warganet lebih peduli soal keamanan di internet, salah satunya dengan tidak mengumbar data-data pribadi, agar tidak menjadi korban kejahatan siber.
"Mereka menghampiri negara-negara berkembang dengan pengguna internet mobile yang banyak dan kesadaran terhadap keamanan TI (Teknologi Informasi) yang kecil," tutur Ruby.
(Din/Isk)