Baby and Daddy: Perjalanan Menyambut Shankara yang Menegangkan

Perjalanan Syarif dan istrinya menyambut buah hati mereka, Shaka, cukup menegangkan.

oleh Nilam Suri diperbarui 11 Jun 2017, 17:00 WIB
Baby Shaka dan Ayah Syarif

Liputan6.com, Jakarta "Selamat ya Pak, istri Bapak saat ini sedang proses masa pembuahan, dan 8 bulan ke depan Bapak resmi jadi seorang ayah." 

Begitu ucapan Dokter O, dokter kami, saat menyampaikan kabar gembira kehamilan istri. Saat itu saya, Muhammad Syarif tidak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa refleks menjabat uluran tangan sang dokter. Sampai pulang dari rumah sakit pun, saya dan Aranya Nadya Mahendrayani, istri saya, rasanya tidak bisa bertingkah laku biasa-biasa saja. Maklumlah kami adalah pasangan suami istri muda yang memiliki jiwa masih berapi-api. 

Sejak saat itu, kami rutin konsultasi pada kerabat dan saudara yang sudah punya keturunan. Ada banyak pelajaran dan solusi yang bisa kami ambil dari setiap perbincangan bersama mereka. Selain konsultasi ini, kewaspadaan terhadap istri pun meningkat, seperti semua pasangan baru yang istrinya sedang hamil. 

Jadwal kontrol istri ke dokter, yang hanya satu kali sebulan, mulai menjadi pertemuan yang terlalu singkat. Pada sesi ini, kami hanya bisa melihat si jabang bayi lewat monitor USG. "Ingin rasanya lebih sering dokter, atau kita beli alat USG saja ya," ucap saya kepada istri sambil tertawa.

Hari demi hari kami kami lewati dan semuanya berjalan sesuai rencana. Pertumbuhan si jabang bayi semakin besar, dan saya pun selalu memegang perut istri, mengajak bayi kami bicara atau memetik gitar sambil menyanyikan lagu-lagu klasik. Kata orang, hal ini akan merangsang otak bayi, biar pintar. Setelah proses yang berjalan lancar, memasuki trimester tiga, keadaan mulai berubah. 


Perjuangan Ibu dan Ayah Demi Buah Hatinya

Baby Shaka dan Ayah Syarif

Pada trimester akhir, saat kehamilan istri sudah besar, dokter mengatakan istri saya mengalami pengentalan darah. Ini artinya, nutrisi dan gizi dari ibu tidak tersalurkan ke bayi. Hal ini membuat bobot bayi kami tidak bertambah dari bulan sebelumnya. 

Kabar dari dokter ini tentu saja membuat saya dan istri khawatir dan was-was. Namun dokter menenangkan. Ia mengatakan, akan memberi istri suntikan yang akan menguatkan paru-paru bayi kami. Dia mengatakan, bayi kami baik-baik saja, namun jika kondisinya tidak berubah, dalam beberapa minggu ke depan harus dikeluarkan segera. "Kita besarkan di luar saja, ya," saran Dokter O. 

Istri harus menerima suntikan tadi setiap hari selama seminggu. Sambi menerima suntikan ini, saya pastikan selalu menyiapkan makanan sehat untuk istri. Ketika menemui dokter seminggu setelahnya, dokter mengatakan hasil pemeriksaan semuanya bagus, namun istri tetap harus disuntik. Untuk jaga-jaga atau antisipasi katanya. 

Di minggu kedua ini, kami mulai melakukan riset sendiri. Mulai dari banyak diskusi, mencari info sendiri di internet. Kerabat dan keluarga juga banyak memberi saran, yang hasilnya membuat kami si pasangan muda mulai goyah dan memutuskan mencari second opinion. Kami kemudian menemukan dokter lain di sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak. Referensi dari internet mengatakan, dokter ini cukup direkomendasikan. 

Ketika akhirnya mengunjungi dokter baru tadi di sebuah RS di Bekasi, saya dan istri malah jadi kalang kabut. Dokter baru ini menyuruh istri langsung dirawat. 

"Ini bahaya, detak jantung bayi lemah, harus cek darah. Ibu juga harus istirahat total, bayi juga harus di caesar kalau tidak bisa meninggal," ucap dokter tadi, yang kami sebut Dokter X dengan nada yang kurang menyenangkan. Istri langsung diopname, dan saya pun segera menghubungi keluarga.

Namun selama di rawat di RS ini, istri bukannya makin tenang malah makin stres. Pelayanan yang tidak menyenangkan, suster yang terus hilir mudik dan mengecek istri membuat istri saya jadi stres. Hasilnya, tensinya jadi tinggi. Ketika datang memeriksa keesokan harinya, sambil melihat hasil laboratorium, Dokter X membacakan hasilnya. 

Dengan nada ketus dokter mengatakan tensi istri saya makin tinggi, dan berisiko mengalami preeklampsia. Tanpa memberikan solusi, dokter ini malah terus membeberkan fakta yang seperti menakuti-nakuti. Dia bilang bayi kami bisa meninggal. Hal ini tentu membuat istri saya makin stres.

Di opname 3 hari 2 malam di RS ini, saya dan keluarga terus merasa was-was. Sampai-sampai setiap mendengar pintu kamar rawat inap terbuka, yang terpikirkan hanyalah berita buruk. 

Tidak tahan dengan kondisi ini, saya akhirnya kembali menghubungi Dokter O. 


Terpaksa Lahir Lebih Cepat

Baby Shaka dan Ayah Syarif

Dokter O sama sekali tidak tersinggung mengetahui kami mencari dokter lain. Mendengar cerita kami, dia menyarankan untuk pulang saja, sambil membawa semua berkas. Setelah sangat dipersulit oleh rumah sakit tadi, dan kami juga harus menandatangani berbagai macam surat, istri akhirnya bisa pulang. 

Keesokan harinya kami menemui Dokter O. Dokter O menyarankan kami untuk lebih baik membesarkan anak kami di luar. Karena pengentalan darah istri, anak kami masih belum bisa menerima nutrisi.

“Antipasinya pak segera kita keluarkan saja si bayi, Pak, kita besarkan di luar dengan nutrisi dan asupan gizi yang baik. Jangan khawatir pak ini langkah yang aman. Tapi sebentar saya lagi diskusi dengan dokter anak rekanan saya, dia lagi pelajari dahulu hasil-hasil kemarin dan akan memberi kabar besok,” kata Dokter O dengan penyampaian dan nada bicara yang santun.

Rencananya, bayi kami akan dilahirkan tiga hari kemudian, pada tanggal 26 Januari. Namun pada tanggal 24 malam, gerakan bayi kami berkurang, sehingga harus segera dikeluarkan. Tidak bisa bohong, perjalanan menuju rumah sakit sangatlah menegangkan. Telapak tangan basah, keringat dingin, dan gugup saat diajak berbicara. Namun untungnya saya masih sempat memberikan mawar merah untuk istri saya. 

“Kamu jangan tegang, tenang aja. Kamu pasti bisa ko, kan kamu mau jadi ibu yang hebat," ujar saya pada istri saat ia didorong ke ruangan operasi. Saat istri dioperasi, saya tidak boleh menemani. Saya hanya bisa menunggu.


Akhirnya Jadi Ayah

Baby Shaka dan Ayah Syarif

Saat menunggu, saya tidak bisa berkonsentrasi meladeni pertanyaan kerabat dan keluarga yang berkumpul. Pikiran saya penuh memikirkan kedua cinta saya di ruangan operasi. Perasaan dan ketegangan saya saat itu tidak bisa diutarakan. 

Akhirnya pintu ruangan operasi dibuka, dan saya pun dipanggil. Bayi kami sudah lahir. Bayi laki-laki dengan berat badan 1240 gram. Karena anak kami prematur dan berat badannya kurang, dia harus dirawat dulu di RS selama 3-4 minggu. 

Berat rasanya harus meninggalkan bayi kami di RS, tapi kami tahu ini demi kebaikannya. Saya harus ikhlas bayi kami dirawat intensif di RS agar perkembangannya membaik. Saat itulah saya meneteskan air mata. Tidak menyangka perjuangan seorang ibu sedemikian beratnya. Cinta orangtua memang tidak bisa terbalaskan walau dihargai dengan materi berapapun juga. Saya merasakannya sat harus berjuang bersama istri. 

Berdoa juga sebagai obat mujarab yang luar biasa, bersyukur dengan apa yang telah di dapatkan, semangat dan support dari keluarga besar dan orang tua maupun dorongan moral dari kerabat dekat berpengaruh baik.

Sepulang kerja adalah rutinitas yang saya tunggu-tunggu untuk lihat perkembangan anak kami di RS. Selalu tak sabar bertemu sore hari untuk berjumpa jagoan Ayah dan Ibu.

Terima kasih nak, kamu merubah kehidupan ayah dan ibumu lebih berwarna, rasa keingintahuan mu tentang dunia dan mengetahui seisinya sangat tinggi, di umur kandungan yang seharusnya kamu belum terlahir, kamu harus di keluarkan dari perut ibumu, agar berkembang dan nutrisi tersampaikan. 

Ini adalah rencana Allah SWT yang di berikan ayah dan ibu mu, dengan ini ayah dan ibu berterimakasih kepada ALLAH SWT karna kamu lahir dengan sehat walafiat. “Mungkin alasan kamu lahir ke dunia sebelum waktunya adalah keinginanmu melihat ayah dan ibumu bahagia atas kehadiran mu, yang tulus merawatmu hingga dewasa nanti”.

Satu pesan ayah: “Boleh jadi apa saja, yang terpenting kamu bahagia. Satu hal yang ayah inginkan, tetaplah menjadi orang baik dan berguna bagi siapapun.”

Shankara Rancid Arsyanendra, lahir di Jakarta, 25 Januri 2017. 

 

Sahabat Liputan6.com ingin berbagi kisah Anda dan buah hati tercinta? Segera kirimkan kisah beserta enam (6) foto putra/putri dan Anda dalam format JPEG hires, serta mencantumkan data diri ke email: health.liputan6@gmail.com.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya