45 Juta Anak Indonesia Bekerja sebagai Buruh

Setiap tanggal 12 Juni, masyarakat internasional menyerukan untuk mengakhiri pekerja anak, yang dikenal dengan Hari Dunia Menentang Pekerja.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jun 2017, 14:30 WIB
Seorang anak ikut berpartisipasi selama unjuk rasa peringatan May Day di Kiev, Ukraina, Senin (1/5). Pekerja di berbagai belahan dunia mengadakan aksi Hari Buruh Internasional dengan memadati jalan-jalan besar menyuarakan aspirasi. (Sergei SUPINSKY/AFP)
Seorang anak ikut berpartisipasi selama unjuk rasa peringatan May Day di Kiev, Ukraina, Senin (1/5). Pekerja di berbagai belahan dunia mengadakan aksi Hari Buruh Internasional dengan memadati jalan-jalan besar menyuarakan aspirasi. (Sergei SUPINSKY/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Setiap tanggal 12 Juni, masyarakat internasional menyerukan untuk mengakhiri pekerja anak, yang dikenal dengan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak (World Day Against Child Labour). Tema ini diusung untuk mengingatkan pada semua pihak bahwa pekerja anak masih menjadi isu global.

Diperkirakan, 68 juta buruh anak di seluruh dunia dan 2,3 (45 juta) buruh anak di Indonesia memiliki risiko terhambat tumbuh kembang dan memerlukan perlindungan khusus dari kekerasan dan eksploitasi.

Pekerja anak tersebar pada sektor pertanian (59 persen), jasa (24 persen), manufaktur (7 persen), dan berbagai sektor lainnya. Sektor utama ini menjadi penggerak ekonomi nasional, terutama sektor pertanian yang menyangkut farming (pertanian), perkebunan, perikanan, dan peternakan tentunya akan berpengaruh dalam percaturan ekonomi global bila terjadi pembiaran pada prinsip bisnis yang menjadi acuan dalam kompetisi global saat ini.

Anak-anak Indonesia tidak bisa terhindarkan dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan kerja dan gangguan atas tumbuh kembang anak. Itu karena situasi pendidikan yang belum menjamin semua anak terakses pendidikan 12 tahun, lapangan pekerjaan yang tidak siap dengan kompetensi dan belum layak (decent work), orangtua belum berdaya secara ekonomi (rentan kemiskinan). Selain itu, dunia usaha juga masih mengabaikan prinsip bisnis yang menjamin hak-hak anak, serta pengawasan dari pemerintah masih lemah.

Masih banyak anak yang putus sekolah dan lulus SD, SMP, SMU/SMK yang tidak melanjutkan pendidikan. Ke mana mereka setelah putus/tamat? Dapat dipastikan akan menyebar memasuki semua sektor pekerjaan. Akankah mereka menjadi sumber daya yang kompetitif dan siap memasuki lapangan pekerjaan layak (decent work) di era kompetisi global saat ini?

Pekerja anak telah memiliki kontribusi ekonomi bagi kesinambungan ekonomi keluarga miskin dan kelompok marginal. Namun demikian, tindakan ini bisa merugikan aset sumber daya manusia yang kompetitif di masa depan. Ketika negara-negara maju melayani anak-anak pendidikan berkualitas, anak-anak Indonesia harus bertahan hidup di lapangan pekerjaan.

Sebanyak 2,3 juta anak bekerja yang tersebar di sektor pertanian, perdagangan, jasa, dan manufaktur memerlukan tindakan segera. Peraturan, kebijakan dan program di pusat dan daerah terkait ketenagakerjaan, pendidikan, sosial dan perlindungan anak telah ditetapkan sebagai komitmen nasional.

Selanjutnya, apakah komitmen dan upaya selama ini telah memastikan semua anak berada di bangku pendidikan, dapat jaminan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Tantangan ini tentu menjadi motivasi kuat dan komitmen yang lebih dalam menyelamatkan anak-anak Indonesia.

Hal ini penting bagi pemerintah, organisasi masyarakat dan sektor usaha untuk memastikan semua anak berada di bangku sekolah, memperoleh layanan tumbuh kembang yang berkualitas, melindungi dari tindakan kekerasan dan eksploitasi. Penting untuk diingat bagi masyarakat agar tidak mempekerjakan anak (individu usia di bawah 18 tahun), khususnya pekerja rumah tangga di rumahnya masing-masing.

Oleh karena itu, semua pihak penting untuk melakukan tindakan segera (immediate action) secara terintegrasi dan berkesinambungan, yaitu:

1. Segera wujudkan Wajib Belajar 12 Tahun, untuk memastikan semua anak berada di bangku pendidikan dan mencegah masuk lapangan pekerjaan secara dini.

2. Meningkatkan status usia minimum bekerja menjadi 18 tahun. Usia minimum memasuki pekerjaan pada 15 tahun, menghambat tumbuh kembang anak dan kompetisi global.

3. Adanya Code of Conduct atau Kode Etik bagi pelaku usaha yang mengikat di semua rantai pasokan;

4. Mengefektifkan sistem pengawasan negara di semua sektor pekerjaan dan melingkupi pada tahapan siklus rantai pasokan;

5. Memperluas cakupan dan jangkauan layanan jaminan sosial dan perlindungan anak untuk memastikan bahwa mereka yang saat ini menjadi pekerja anak mendapatkan intervensi secara terpadu dan berkesinambungan. Tindakan cepat dan efektif bagi pekerja anak diperlukan agar mendapatkan layanan yang memastikan pemenuhan terhadap tumbuh kembangnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya