Liputan6.com, Jakarta - Teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) disebut-sebut sebagai teknologi masa depan. Padahal VR dan AR bukan lah teknologi baru. Keduanya kembali menyita perhatian setelah diperkenalkan kembali pada 2009.
Meski adopsinya lambat, riset terbaru GfK justru menyebutkan adanya pertumbuhan teknologi VR dan AR di sejumlah wilayah di Asia Tenggara. GfK mencatat bahwa masyarakat mulai menaruh perhatian terhadap headset VR yang dapat dipakai untuk menonton video 360 derajat.
Jika tadinya hanya ada dua brand kamera VR 360 derajat di 2015, kini sudah ada 13 brand di 2016. Di Asia Tenggara, permintaan action camera 360 derajat naik tajam dalam setahun terakhir, terutama dari Singapura dan Malaysia.
Sementara itu, adopsi VR untuk bidang medis juga mulai berkembang di dunia. Misalnya saja, aplikasi VR untuk operasi augmented vision, remote treatment, dan diagnosa jarak jauh. Namun, hingga saat ini, gaming masih menjadi sasaran empuk adopsi VR dan AR.
Baca Juga
Advertisement
Kendati demikian, VR dan AR juga membentuk industri ritel dan terbukti efektif dalam menjaga loyalitas konsumen, terutama konsumen yang terhubung dengan teknologi, terdidik, dan yang mencari pengalaman berbelanja positif tapi juga kurang setia.
Dalam studi terbaru GfK tentang "Connected Consumer", sebanyak 50 persen dari populasi online berada di Asia, sedangkan Asia Tenggara adalah salah satu wilayah dengana kegiatan mobile teraktif di dunia.
"Dengan pembeli yang akan sepenuhnya menikmati suasana ritel melalui VR dan AR di perangkat pintar mereka, potensi untuk memenangkan hati konsumen akan sangat besar bagi brand," ujar Direktur Regional Digital Marketing Intelligence GfK, Karthik Venkatakrishnan dalam keterangan resminya.
Ia mencontohkan Amazon yang kini tengah membangun toko mebel berbasis teknologi AR karena ingin membawa pengalaman "mencoba sebelum membeli" ke tingkat yang baru. Selain itu riset mengungkap bahwa menggunakan toko virtual juga dapat membantu toko fisik untuk memperoleh wawasan mengenai proses belanja tanpa harus mengubah bentuk toko maupun produk.
"Integrasi VR dan AR di industri ritel dapat mengubah cara orang berbelanja dan memengaruhi bagaimana ritel merancang tokonya. Brand yang menggunakan VR atau AR untuk meningkatkan pengalaman belanja dengan sentuhan pengaturan pribadi konsumen, cenderung dapat menciptakan nilai lebih bagi konsumen dan meningkatkan loyalitas konsumen," tuturnya.
(Cas/Isk)