OJK Segera Rilis Aturan Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan

Aturan tentang pembentukan PIKK didasari masukan dari industri dan juga berdasarkan hasil penelitian terhadap praktik yang berlaku di bebera

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Jun 2017, 21:37 WIB
OJK
Liputan6.com, Jakarta
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerbitkan peraturan OJK tentang Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) yang mewajibkan Konglomerasi Keuangan (KK) memiliki perusahaan induk (holding company) dan membuat definisi baru tentang KK. Targetnya aturan ini keluar sebelum akhir 2017.  
 
Deputi Komisioner Pengawasan Tereintegrasi OJK, Agus Edy Siregar mengungkapkan, aturan tentang pembentukan PIKK didasari masukan dari industri dan juga berdasarkan hasil penelitian terhadap praktik yang berlaku di beberapa negara lain. 
 
Konsep Entitas Utama (EU) yang digunakan saat ini memiliki keterbatasan, yaitu EU tidak memiliki kendali terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lain anggota KK, sehingga dapat menyulitkan penerapan manajemen risiko, tata kelola, dan permodalan terintegrasi. 
 
 
"Tugas PIKK mengawasi manajemen risiko dari seluruh grup, mengawasi permodalan dari seluruh grup," kata Agus saat Acara Buka Puasa Bersama di kantornya, Jakarta, Senin (12/6/2017). 
 
Menurutnya, beberapa negara, seperti Malaysia, Korea, dan Singapura telah menerapkan aturan tentang Financial Holding Company, atau PIKK. Dengan adanya perusahaan induk khusus untuk sektor jasa keuangan, maka seluruh aktivitas KK dapat dikonsolidasikan dan dikendalikan PIKK. 
 
"Fungsi EU yang selama ini dapat dijalankan oleh salah satu LJK dalam KK, nantinya akan dilaksanakan oleh PIKK," tuturnya.  
 
POJK tentang PIKK ini merupakan salah satu implementasi dari rancang bangun pengawasan terintegrasi OJK, yang terbungkus dalam suatu Roadmap Pengawasan Terintegrasi OJK 2017-2019 yang juga akan dikeluarkan dalam waktu segera. 
 
Pada roadmap tersebut, OJK akan melengkapi dan memperkuat kebijakan pengawasan terintegrasi, mengembangkan sistem dan metodologi pengawasan, terintegrasi, dan memperkuat implementasi pengawasan terintegrasi. Aturan tentang pembentukan PIKK dan perubahan definisi KK ini untuk melengkapi dan memperkuat kebijakan pengawasan terintegrasi terhadap KK. 
 
Agus menjelaskan, rancangan POJK tentang PIKK, yang wajib membentuk PIKK adalah Pemegang Saham Pengendali atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir. Penerapan ketentuan ini mungkin akan mengakibatkan perubahan struktur kepemilikan, terutama apabila terdapat LJK yang tidak dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh entitas yang ditunjuk sebagai PIKK. PIKK dapat berupa salah satu LJK dalam KK, atau dapat pula berupa entitas non LJK, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk. 
 
RPOJK ini akan dilengkapi juga dengan pedoman pelaksanaan terkait proses penetapan PIKK. Apabila calon PIKK berupa entitas non LJK, maka terlebih dahulu akan dinyatakan sebagai LJK Lainnya oleh OJK sebagaimana diatur pada UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK, sehingga tunduk kepada dan diawasi oleh OJK. Selanjutnya, LJK Lainnya tersebut akan ditetapkan sebagai PIKK. 
 
"Dengan adanya PIKK sebagai perusahaan induk, diharapkan akan memudahkan Pemegang Saham Pengendali (PSP) atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT) dalam memantau perkembangan bisnis jasa keuangan yang dimiliki," terangnya. 
 
Selain itu, koordinasi KK dalam melaksanakan manajemen risiko, tata kelola, dan permodalan secara terintegrasi menjadi lebih mudah jika dibandingkan dengan konsep EU. Di sisi lain, akan memudahkan OJK, selaku regulator, untuk melakukan pengawasan terhadap KK. 
 
Dalam RPOJK tentang PIKK, OJK juga akan mengatur tentang perubahan kriteria KK yang semula hanya mempertimbangkan adanya hubungan kepemilikan oleh pihak yang sama, menjadi mempertimbangkan pula aspek keberagaman sektor keuangan dan total aset KK. 
 
Sesuai POJK No. 17/POJK.O3/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi terhadap Konglomerasi Keuangan, LJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian, dianggap sebagai KK. 
 
Pada RPOJK ini, suatu grup LJK baru dinyatakan sebagai suatu KK apabila terdapat LJK pada setidaknya 2 sektor yaitu bank, perusahan asuransi dan reasuransi, perusahaan efek, dan/atau perusahaan pembiayaan, dan KK tersebut memiliki total aset minimal Rp2 triliun. 
 
Berdasarkan kriteria baru tersebut, saat ini terdapat 48 KK dengan total aset per posisi 31 Desember 2016 mencapai Rp 5.915 Triliun atau 67,52 persen dari total aset keseluruhan sektor jasa keuangan. Pengaturan dalam RPOJK ini sejalan dengan prinsip Joint Forum dan praktik umum yang berlaku di internasional. 
 
Saat ini, OJK sudah dalam tahap permintaan tanggapan publik atas RPOJK PIKK tersebut. Adapun pihak yang dimintakan tanggapan tertulis adalah PSP/PSPT KK, EU, dan asosiasi terkait.
 
Di samping itu, RPOJK tersebut juga telah dimuat dalam laman OJK untuk memperoleh tanggapan dari publik secara umum. Tentu saja diperlukan dukungan penuh dari segenap pemangku kepentingan dalam penerapan ketentuan ini, terutama dari KK dan PSP/PSPT KK.
 
"Diharapkan POJK PIKK dapat dikeluarkan sebelum akhir tahun ini," pungkas Agus.
 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya