Liputan6.com, Doha - Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian melakukan pertemuan dengan Menlu Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani. Pertemuan tersebut dilangsungkan untuk membahas krisis diplomatik di Timur Tengah.
Kepada Menlu Prancis, Al Thani mengatakan negaranya terbuka untuk bernegosiasi. Akan tetapi, Qatar juga punya hak membela diri.
"Apa pun yang berhubungan dengan keamanan negara-negara teluk, Qatar siap bernegosiasi," sebut Al Thani seperti dikutip dari Asharq Al Awsat, Rabu (14/6/2017).
"Qatar juga punya hak bereaksi terhadap tuduhan yang menyebut kami telah melakukan intervensi ke beberapa urusan dalam negeri mereka (negara-negara yang memutuskan hubungan diplomatik)," ujar dia.
Tudingan intervensi dilayangkan negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). Tuduhan terbaru kian memanaskan krisis diplomatik Timur Tengah.
Menurut Sheikh Mohammed, Doha sama sekali tidak pernah mengintervensi urusan dalam negeri negara lain. Kerja sama Qatar dan negara GCC bersifat transparan dan jujur.
Baca Juga
Advertisement
Keterangan tersebut disampaikan Sheikh Mohammed usai bertemu Menlu Inggris, Boris Johnson, beberapa waktu lalu.
Setelah krisis diplomatik Qatar terjadi, Sheikh Mohammed melakukan rangkaian kunjungan ke Eropa. Ia bertemu lima menlu negara besar Eropa, yaitu, Rusia, Inggris dan Prancis, Belgia dan Jerman.
Tujuan rangkaian lawatan tersebut untuk membahas penyelesaian masalah. Ia pun meyakinkan seluruh koleganya di Eropa bahwa tuduhan Qatar mendanai terorisme tidak benar.
Sheikh Mohammed kepada seluruh menlu yang ditemuinya mengatakan tuduhan bahwa negaranya mendukung Ikhwanul Muslimin tidak benar. Sementara itu, untuk dukungan terhadap faksi Hamas, menurut Qatar, bukan merupakan kelompok teroris.
Sementara Menlu Qatar melakukan rangkaian kunjungan, Emir Kuwait juga menggelar pertemuan dengan Presiden Prancis.
Di depan Presiden Emmanuel Macron, Emir Sheikh Sabah al-Ahmad al-Jaber Al Sabah mengatakan ia akan berupaya sekuat tenaga untuk menyelesaikan krisis diplomatik tersebut.
"Sangat sulit bagi generasi kami untuk membuat GCC, melihat ada perbedaan pendapat antar anggota. Kami khawatir akan muncul konsekuensi yang tidak diinginkan," sebut Al Sabah.
"Saya secara pribadi hidup di masa GCC pertama kali berdiri sekitar empat dekade lalu. Jadi tidak akan mudah bagi pemimpin seperti saya untuk diam tanpa melakukan usaha terbaik untuk menyatukan kami," ucapnya.