Liputan6.com, Cirebon - Pasar Tegal Gubug yang berada di Desa Tegal Gubug, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, senantiasa ramai dikunjungi para pembeli baik grosir maupun eceran. Tak sedikit pengunjung yang datang dengan truk besar dan mobil pikap rela mengantre di pasar tersebut untuk belanja pakaian dalam jumlah besar.
Di pasar yang memiliki luas 12 hektare ini terdapat 10 ribu pedagang grosir dengan puluhan pelanggan dari berbagai daerah di Indonesia. Pasar Tegal Gubug hingga menjadi pasar terbesar se-Asia Tenggara memiliki sejarah yang cukup panjang.
Filolog Cirebon Opan Rahman Hasyim menuturkan, Pasar Tegal Gubug tidak lepas dari sejarah nenek moyangnya, Ki Demang Suropati, sebagai diplomat ulung dari Kerajaan Cirebon.
"Sekitar tahun 1428 Desa Tegal Gubug dulunya cuma padukuhan biasa," ucap pria yang akrab disapa Opan Safari kepada Liputan6.com pada Mei lalu.
Ketika itu, ia mengisahkan, Ki Demang Suropati menjabat sebagai Kepala Desa Tegal Gubug ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati menjadi Juru Runding Kerajaan Cirebon saat bertikai dengan Rajagaluh. Pertikaian dua kerajaan di bawah Padjadjaran tersebut bermula ketika Cirebon menghentikan pemberian upeti melalui Rajagaluh.
Baca Juga
Advertisement
Sejak pertikaian tersebut, masing-masing kerajaan mengirimkan diplomat ulungnya untuk berdiplomasi. Termasuk, Padjadjaran yang mengirim tiga pasukan ekspedisi khsusus ke Cirebon.
Pasukan ekspedisi khusus pertama dipimpin Tumenggung Jagabayan, namun gagal. Atas penjelasan Pangeran Cakrabuana, utusan pun akhirnya bergabung dengan Cirebon dan masuk Islam.
"Bagi Padjadjaran upeti itu diserahkan dari bawahan ke atasan. Di Cirebon yang dipimpin Sunan Gunung Jati menggunakan konsep yang terbalik, yakni dari atas ke bawah atau kepada rakyat berupa zakat. Nah, zakat diambil dari orang-orang kaya," ujar dia.
Kegagalan pasukan ekspedisi pertama pimpinan Tumenggung Jagabayan membuat Padjadjaran mengirim pasukan ekspedisi kedua dipimpin oleh Tumenggung Jagasatru. Namun, menurut Opan, utusan Kerajaan Padjadjaran tersebut gagal. Tumenggung Jagasatru justru memilih bergabung dengan Cirebon dan mempelajari Islam.
Kegagalan dua pasukan khusus menjalankan misi di Cirebon, membuat Kerajaan Padjadjaran tersebut mengutus pasukan khusus yang ketiga pimpinan Tumenggung Lembu tanpa diplomasi.
"Pasukan khusus yang dikirim Tumenggung Lembu ini langsung melakukan serangan fajar di Gunung Jati. Tapi dapat dikalahkan oleh pasukan Sunan Gunung Jati yang dipimpin Adipati Keling. Setelah dihadapkan dengan Gunung Jati, akhirnya Tumenggung Lembu masuk Islam," sebut dia.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Perang dengan Prabu Siliwangi
Kegagalan tiga pasukan Khusus Kerajaan Padjadjaran tersebut membuat Prabu Siliwangi diperintahkan untuk bertindak dan berperang dengan Cirebon. Perintah Padjadjaran kepada Rajagaluh untuk berperang dengan Cirebon tersebut sudah diketahui Sunan Gunung Jati sebelumnya.
"Waktu ada konflik dengan Rajagaluh di Cirebon sedang kedatangan Pangeran Trenggono dari Demak yang juga menantu Sunan Gunung Jati. Mereka kemudian mengirimkan telik sandi untuk mengetahui kekuatan dari Kerajaan Galuh," ujar dia.
Dalam suasana panas antara dua kerajaan, Ki Demang Suropati terus mendapat peran untuk berdiplomasi dengan Padjadjaran. Tugas utama Ki Demang Suropati saat itu memberikan penjelasan kepada Padjadjaran terkait penghentian pemberian upeti.
Namun demikian, upaya diplomasi antara dua kerajaan tersebut gagal dan tidak menemukan titik terang. Hingga akhirnya terjadi peperangan antara Kerajaan Cirebon dan Rajagaluh di pegunungan kapur Palimanan.
"Dengan gigih Kerajaan Cirebon berperang dan berhasil mengalahkan Rajagaluh karena rahasia kerajaannya sudah diketahui terlebih dahulu oleh pasukan Telik Sandi Sunan Gunung Jati," ujar dia.
Opan menyebutkan, pengiriman upeti Kerajaan Cirebon ke Padjadjaran di Desa Balerante. Sejak dihentikannya pengiriman upeti, perekonomian Kerajaan Padjadjaran terganggu.
Perang pun berakhir dengan Cirebon sebagai pemenang. Sunan Gunung Jati kemudian mengutus Ki Demang Suropati untuk mengambil harta rampasan perang, termasuk sisa pasukan lawan untuk dijadikan budak.
Namun, di tengah menjalankan utusan Sunan Gunung Jati, Ki Demang Suropati terpikat oleh putri Cakrawati anak dari Cakraningrat Rajagaluh.
"Ki Demang Suropati meminta agar putri Cakrawati tidak dijadikan tahanan perang kerajaan dengan berbagai alasan dan Sunan Gunung Jati karena sudah tahu akhirnya mengizinkan. Sempat menjadi rebutan dengan kakaknya Demang Suropati, tapi akhirnya jatuh ke tangannya sendiri dan Putri Cakrawati akhirnya dinikahi," tutur dia.
Opan mengatakan pula, peran Ki Demang Suropati menjadi diplomat Kerajaan Cirebon mendarah daging hingga saat ini. Terlihat dari keberadaan Pasar Tegal Gubug hingga menjadi pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara.
"Saya tahu persis tahun 1980-an pusat grosir Tegal Gubug mulai ramai, tapi memang tidak setiap hari karena pedagang juga perlu belanja ke distributor," sebut dia.
Opan menjelaskan, warga Tegal Gubug secara tidak langsung sangat pandai berdiplomasi. Tak mengherankan, bila kemudian pelanggan merasa nyaman belanja di Pasar Tegal Gubug.
"Diplomat yang halal kan baiknya di dunia perdagangan. Terus, orang Tegal Gubug juga kreatif dan kreatif itu jadi salah satu ciri-ciri diplomat," filolog Cirebon itu memungkasi.
Advertisement