Liputan6.com, Raqqa - Penyelidik kejahatan perang dari PBB menyebut bahwa jumlah korban sipil yang tewas akibat operasi militer Amerika Serikat di Raqqa, Suriah, sangat mengejutkan.
Operasi militer itu ditujukan untuk merebut kembali Raqqa dari tangan ISIS yang mendeklarasikannya sebagai salah satu ibu kota de facto organisasi teroris tersebut.
Penyelidikan itu dilakukan di bawah naungan komisi independen khusus PBB yang ditugaskan untuk menginvestigasi pelanggaran hukum internasional, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Suriah.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, operasi militer untuk merebut Raqqa dimulai pada awal Juni 2017 lalu. Operasi itu ditandai dengan serangan darat yang dilakukan oleh Syrian Democratic Forces (SDF) --militan Kurdi dan Arab yang disokong AS-- serta serangan udara yang dilakukan oleh militer koalisi AS.
Pasukan SDF telah mulai memasuki wilayah kota dari timur dan barat, serta semakin mendekat ke tembok kota kuno peninggalan Dinasti Abbasiyah di Raqqa. Warga setempat melaporkan pertempuran intens di sejumlah lokasi di kota yang tercabik konflik itu.
Hasil penyelidikan PBB menunjukkan bahwa serangan udara yang dilakukan militer AS saat operasi di Raqqa pekan lalu mengakibatkan 300 warga sipil tewas, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (15/6/2017).
"Secara khusus, kami melihat bahwa serangan udara yang ditujukan untuk mendukung manuver pasukan darat yang akan menyerbu Raqqa, mengakibatkan tewasnya korban sipil yang sangat banyak. Operasi itu juga membuat 160 ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi," kata Paulo Pinheiro, kepala komisi independen khusus PBB untuk Suriah, di hadapan dewan HAM di Jenewa.
Salah satu anggota komisi melengkapi pernyataan Pinheiro, dan menyebut bahwa serangan udara yang dilakukan oleh pasukan koalisi AS menimbulkan banyak korban tewas yang merupakan warga sipil.
"Kami menemukan bahwa warga sipil yang tewas akibat serangan udara pasukan koalisi saja, mencapai 300 jiwa. Sekitar 200 di antaranya berasal dari satu lokasi, Desa al-Mansoura," kata Karen Abuzayd, anggota komisi independen khusus PBB untuk Suriah.
Minggu lalu, beredar sebuah video yang mendokumentasikan serangan udara di Raqqa. Rekaman itu menunjukkan sejumlah pesawat koalisi yang menjatuhkan bom fosfor putih di kota dengan populasi 10.000 warga sipil, sejumlah tahanan perang, dan ribuan militan ISIS.
"Gagasan untuk memerangi terorisme seharusnya tidak boleh merugikan warga sipil yang ada di sana. Warga sipil itu terjebak dalam situasi di mana wilayah tempat tinggal mereka menjadi sarang ISIS," ucap Pinheiro.
Pada kesempatan yang berbeda, Human Rights Watch mengimbau kepada pasukan koalisi AS agar lebih berhati-hati dalam menggunakan bom fosfor putih agar tidak menghasilkan dampak korban sipil.
Penggunaan fosfor putih menimbulkan kecaman keras minggu lalu, dan menimbulkan kekhawatiran bahwa koalisi AS tidak melakukan tindakan pencegahan yang memadai untuk melindungi warga sipil.
Saat ini, kehadiran bom kimia itu tidak diatur dalam regulasi internasional yang jelas, sehingga penggunaannya di medan perang masih bersifat dilematis. Akan tetapi, sejumlah ketentuan mendasar, seperti yang diatur dalam Convention on Certain Conventional Weapons PBB, melarang penggunaan senjata militer apapun, termasuk berbahan kimia, kepada warga sipil.
Di sisi lain, operasi koalisi AS di Raqqa tampak tidak membuahkan hasil yang signifikan. Bahkan, operasi tersebut lebih mengancam keselamatan warga sipil di Raqqa, yang rentan menjadi korban sampingan serangan koalisi AS dan dijadikan perisai hidup oleh ISIS.
"Mengingat operasi ini dilakukan dengan sangat cepat, banyak warga sipil yang tidak sempat mengevakuasi diri dan terjebak di dalam kota. Mereka menghadapi bahaya dari ISIS dan serangan udara pasukan koalisi yang berusaha menyerang kelompok (ISIS) itu," ucap Pinheiro.
Koalisi AS Mulai Menyerang Raqqa
Pada laporan 7 Juni 2017, militan Kurdi dan Arab yang tergabung dalam SDF dan didukung Amerika Serikat memulai serangan mereka ke Raqqa. Dari keterangan SDF, operasi ini dimulai sejak Senin, 5 Juni 2017.
SDF disebut Pemerintah Suriah sebagai pemberontak, karena militan itu bertujuan untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad. Mendapat sokongan penuh dari AS dan sekutunya, kelompok SDF yakin misi merebut Raqqa akan berjalan sukses.
"Kami deklarasikan sejak hari ini upaya peperangan merebut Kota Raqqa kami mulai, wilayah itu disebut sebagai ibu kota dari terorisme," sebut Juru Bicara SDF, Talal Silo, seperti dikutip dari BBC 7 Juni 2017.
"SDF menyerang kota dari utara, timur, serta barat dan kami mendesak warga sipil menjauhi garis depan pertempuran dan beberapa lokasi yang dihuni ISIS," tambah dia.
Salah satu pejabat militer AS, Letnan Jenderal Steve Townsend, menyebut peperangan akan berlangsung lama dan sulit. Namun, SDF dan sekutunya tidak perlu takut, AS selalu siap membantu.
"Kami dalam posisi siap melucuti ibu kota khalifah (ISIS) itu," papar Townsend.
Saksikan juga video berikut ini