Liputan6.com, Beijing - Hari ini, 117 tahun yang lalu, kelompok Yihetuan dan sebagian pihak Dinasti Qing China memulai 'Pemberontakan' Boxer. Pemberontakan itu dilakukan sebagai tanggapan atas ekspansi asing, agenda kolonialisme, dan misionarisme Barat di daratan China.
Kelompok Yihetuan dan sebagian pihak Dinasti Qing menyatakan perang terhadap Koalisi 8 Negara yang didominasi Barat. Kedelapan negara itu adalah Inggris, Rusia, Prancis, Kekaisaran Jerman, Amerika Serikat, Austro-Hungaria, Italia, Belanda, dan Jepang. Demikian seperti dikutip History.com.
Baca Juga
Advertisement
Yihetuan atau The Righteous and Humanious Fists merupakan kelompok masyarakat di Provinsi Shandong yang kerap mengalami gejolak sosial, politik, ekonomi, dan agama.
Gejolak itu dimanfaatkan bagi kelompok misionaris Amerika Serikat untuk menanamkan ajaran Kristen di kawasan Shandong.
Terminologi 'Boxer' merupakan istilah yang digunakan oleh para misionaris AS untuk menyebut pemuda di Shandong, yang memiliki latar belakang sebagai ahli ilmu bela diri tradisional dan petarung andal.
Muncul ketidaksukaan dari kalangan Boxer terhadap pembawa misi agama dari Negeri Paman Sam itu. Mereka melihat para misionaris sebagai 'bentuk lain' imperialisme dan kolonialisme yang berusaha menaklukan Shandong.
Sentimen anti-asing, anti-Barat, anti-misionarisme, dan anti-kolonialisme yang menjadi latar pemberontakan tersebut tumbuh berkembang di kawasan Shandong dan menyebar luas ke sejumlah wilayah lain. Pergerakan kelompok itu pun terdeteksi oleh Dinasti Qing yang saat itu dipimpin Permaisuri Cixi.
Kalah dalam Perang Opium membuat Dinasti Qing memutuskan mendukung para Boxer. Namun tak seluruhnya bersikap demikian.
Sebagian kelompok lain dari Dinasti Qing yang dipimpin oleh Pangeran Qing tidak mendukung para Boxer. Mereka lebih memilih untuk pro-Barat.
Pada 1898, Permaisuri Cixi yang anti-imperialisme, secara terbuka mendukung Yihetuan atau Boxer. Di penghujung tahun, Boxer yang didukung oleh pasukan pro-Permaisuri Cixi tumbuh menjadi pasukan berdaya tempur kuat dan secara rutin menyerang kelompok misionaris, pasukan ekspedisioner, dan militer negara Barat di daratan Tiongkok.
Sementara itu, 20 Juni 1900, Boxer yang telah berkekuatan sekitar 100.000 orang dan disokong oleh pasukan Permaisuri Cixi dari Dinasti Qing mengepung dan mengisolasi orang asing di kawasan diplomatik di Peking (sekarang Beijing), membakar gereja di lokasi yang kini menjadi Ibu Kota China tersebut, dan menghancurkan rel kereta api yang menghubungkan Peking-Tientsin (sekarang Tienjin).
Kelompok asing, diplomat Barat, beserta para keluarga yang terisolir mengalami kelaparan dan kondisi yang memprihatinkan.
Pengepungan itu berlangsung selama berminggu-minggu. Di saat yang bersamaan, Koalisi 8 Negara yang dibantu Jepang menyusun kekuatan strategis untuk menggempur pasukan Yihetuan dan Dinasti Qing.
Pada 14 Agustus 1900, pasukan Koalisi 8 Negara memulai pertempuran pembebasan Peking dan Tientsin. Pasukan Dinasti Qing pro-Pangeran Qing turut membantu menggempur kelompok Yihetuan dan pasukan Permaisuri Cixi.
Setelah sejumlah pertempuran dan turut dipengaruhi oleh beberapa perpecahan di dalam kubu Dinasti Qing, Protokol Peking disepakati oleh para pihak yag berkonflik pada September 1901, dengan janji bahwa negara Barat tidak akan melakukan partisi dan misi misionaris lebih lanjut di wilayah Tiongkok.
Protokol itu secara resmi mengakhiri Pemberontakan Boxer. Tak hanya itu, Protokol Peking juga menghasilkan kesepakatan dagang antara Barat dengan pihak China.
Akan tetapi, perjanjian itu dianggap merugikan China untuk ke depannya. Sejak Protokol Peking ditandatangani, China dipaksa untuk menerima kehadiran pasukan asing secara permanen di Peking.
Mereka juga dituntut untuk mengganti kerugian perang negara Barat sebesar US$ 333 juta sebagai bentuk hukuman atas apa yang disebut Inggris Cs sebagai 'pemberontakan', yang justru dianggap oleh Yihetuan sebagai 'perang melawan kolonialisme-imperialisme Barat'.
Di hari yang sama, pada 1963, Amerika Serikat dan Uni Soviet sepakat untuk membentuk jalur khusus bagi kedua negara untuk berkomunikasi perihal isu rudal nuklir. Perwakilan AS dan Uni Soviet menandatangani nota kesepakatan 'Direct Communication Line' di Jenewa, Swiss.
Jalur komunikasi khusus ini kemudian disebut 'Red Telephone', yang sebenarnya tidak menggunakan telepon berwarna merah, melainkan komunikasi antara kepala negara dengan menggunakan telegraf.
Perisitiwa itu menandai melunaknya hubungan AS dan Uni Soviet yang sempat tegang akibat isu perang nuklir. Kedua negara mulai mempertimbangkan untuk menuju jalur damai dan berkomunikasi demi menurunkan ketegangan di tengah-tengah Krisis Kuba yang bisa memicu Perang Dunia III.
Pada penerapannya, komunikasi 'Red Telephone' ini hampir tidak pernah membicarakan potensi perang nuklir. Dan dalam beberapa tahun kemudian, penggunaannya lebih canggih, hingga berubah menjadi komunikasi faksimile dan e-mail.
Sementara itu, pada 20 Juni 1991, Parlemen Jerman memutuskan untuk memindahkan kembali ibu kota dari Bonn ke Berlin.
Saksikan juga video berikut ini